Lelaki yang nampak lebih muda datang dan menepuk bahu lelaki sebelumnya. “Ada apa tho Gun? Kok kepala mu itu seperti orang kena ayan.”
Guntur, lelaki setengah baya yang ditepuk tadi menoleh terkejut. “Kamu Wan. Itu loh, coba lihat.”
Iwan mengikuti arah telunjuk Guntur, diseberang jalan sana nampak sekelompok orang bermandikan lumpur karena aktivitas gali menggali. Dahi Iwan berkerut tak lama kemudian, “Tidak ada yang aneh, biasa-biasa aja.”
“Kalau dilihat sekilas memang tidak ada yang aneh. Tapi coba kamu ingat-ingat, setiap kali ada perbaikan jalan nggak lama kemudian pasti ada kegiatan menggali lubang. Ntah itu Telkom, PLN atau telpon selular, pokoknya ada-ada aja.” Tukas Guntur bernada protes. Mimiknya terlihat lucu bila sedang serius.
Kepala Iwan terangguk-angguk, ia mulai mengerti apa yang tengah mengganggu pikiran temannya.
“Mereka itu seperti sedang bermusuhan dan tidak senang melihat yang lainnya berhasil. Setiap kali jalan sudah bagus dan bener, nggak lama kemudian pasti hancur lagi gara-gara galian. Selain itu yang bikin jalan ancurnya makin ampun-ampunan, para penggali itu nggak mau nutup lagi lubang yang mereka buat setelah selesai pekerjaan. Alhasil, lubang tadi jadi tempat bergenangnya air dan membuat lalu lintas terganggu.” Sambungnya lagi.
Guntur menghela nafas, matanya memandang sedih kedepan sana. “Kapan ya pemerintah itu bener-bener mikirin nasib kita? Kalau mereka nggak mau mendengar jeritan kita, seenggaknya mereka tidak merusak fasilitas.”
Iwan menepuk-nepuk pelan punggung kawannya itu. Ia sendiri cukup prihatin tapi seperti yang lain, ia pun tak tahu harus berbuat apa.