ulie said

TiDak AdA mAnuSiA YanG Bod0H
yAnG aDa HanYa MaNusIa yANg MalAS

Kamis, 17 November 2011

Garam Indonesia

Indonesia merupakan Negara kepulauan dengan garis pantai sepanjang 95.181 KM dan terpanjang keempat di dunia. Namun yang mengherankan, dengan kenyataan geografis seperti itu, Indonesia masih saja mengimpor garam dari luar negeri, tepatnya Australia yang menempati peringkat keenam terbesar di dunia. Peringkat pertama dipegang oleh Cina dengan memproduksi 60 juta ton atau sekitar 22% produksi dunia pada tahun 2010 kemarin. Ditempat kedua, ada Amerika Serikat dengan produksi 45 juta ton. Disusul Jerman (16 juta ton), India (15,8 juta ton), dan Kanada (14 juta ton). Garam yang diketahui banyak orang hanyalah sebagai ‘pelengkap’ dapur dan meja makan. Namun ternyata diluar itu garam banyak sekali digunakan untuk bahan industri antara lain, sebagai bahan baku pembuatan Chlor Alkali Plant (CAP) yang selanjutnya dipakai untuk memproduksi Polyvinyl Chloride (PVC), soda kostik dan turunan Chlor yang digunakan untuk bahan pemutih (bleaching), industri makanan, kosmetik dan farmasi. Garam yang digunakan untuk industri haruslah yang berkadar NaCI minimum 97%, sementara untuk kosmetik, farmasi termasuk cairan infus dibutuhkan garam dengan NaCI minimum 99%. Untuk konsumsi langsung, dibutuhkan garam dengan kandungan NaCI minimum 94,7% sesuai dengan parameter Standar Nasional Indonesia (SNI). Banyak kendala yang membuat Indonesia harus mengimpor garam meski pun merupakan Negara kepulauan. Pertama, Indonesia kalah bersaing dengan negara-negara maju bukan karena garam Indonesia kalah asin. Tapi karena produksi nasional Negara ini memang rendah. Selain itu juga kualitas garam buatan Indonesia pun dibawah standar, kadar NaCI garam lokal yang paling bagus hanya 80% padahal garam impor kadarnya diatas 97%. Kedua, petani garam Indonesia memanen garam terlalu cepat, yaitu antara 3-4 hari. Padahal, garam butuh dikeringkan 15-20 hari untuk mencapai kadar NaCI yang setara dengan garam impor. Ketiga, faktor lokasi produksi dan alam juga akan mempengaruhi kualitas garam yang dihasilkan. Tiga syarat utama utnuk memproduksi garam standar ; kualitas air laut, spesifikasi ladang garam yang ideal dan iklim yang mendukung. Air laut yang menjadi bahan pembuatan garam, memang bukan jenis yang sembarangan. Kadar garamnya harus tinggi. Syaratnya, dipantai itu tidak ada muara sungai, sehingga airnya bisa jernih. Selain itu, pasang surut air laut yang mencapai permukaan daratan tidak lebih dari 2 m. Menurut Fadel Muhamad, saat masih menjabat sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP), potensi lahan penggaraman di Indonesia sekitar 30.000 ha. Namun baru sekitar 20.000 ha atau 60% yang telah dimanfaatkan untuk produksi garam. Iklim sebagai sumber energi. Curah hujan disuatu pantai ladang garam maksimal 1000 mm sampai 1.300 mm per tahun. Tingkat kemarau kering berkelanjutan sedikitnya 4 bulan per tahun. Cuacanya pun sebaiknya jarang mendung atau berkabut, serta memiliki kelembapan yang rendah (terus menerus panas). Faktanya, curah hujan di Indonesia terlalu tinggi atau berkisar 1.200-1.400 mm per tahun dengan tingkat kelembapan 60%-80%. Bulan kemarau pun hanya berlangsung 3 bulan. Waktu yang cukup pendek menunggu garam mengkristal. Dengan ‘kelemahan-kelemahan’ seoertu diatas, mampukah Negara kita yang tercinta ini suatu saat nanti (minimal) tidak alagi mengimpor garam dari luar? (sumber : Majalah Intisari)

Tidak ada komentar: