ulie said

TiDak AdA mAnuSiA YanG Bod0H
yAnG aDa HanYa MaNusIa yANg MalAS

Rabu, 17 Agustus 2011

youtube oh youtube

Sebuah video seorang dukun membaca mantera diiringi kepulan asap kemenyan, beredar luas di internet. Judulnya pun mengejutkan dan membuat pengunjung bergidik ngeri “Menyantet anggota dewan”
Lelaki tua dengan rambut gimbal panjang sebahu tampak membaca mantera-mantera sambil sesekali meludah pada boneka-boneka jerami dihadapannya. Setiap boneka tertempel kertas berisi nama anggota dewan yang konon katanya menyetujui pembangunan gedung baru DPR. Ntah mantera dan bahasa apa yang diucapkan, tidak terdengar jelas. Lagu Alam yang berjudul ‘Mbah Dukun’ menjadi soundtrack video ini, walaupun terdengar tidak cocok namun masyarakat tetap menyukainya.
Sosok fenomenal ini dalam sekejab menggemparkan masyarakat. Beragam reaksi diperlihatkan, dari yang mengganggapnya lucu-lucuan hingga yang beranggapan lelaki ini mampu mewakili jeritan hati mereka.
“Lucu banget, idenya kreatif dan benar-benar menghibur,” jawab seorang mahasiswi ketika wartawan berita TV swasta menanyakan pendapatnya tentang video itu.
Sementara ditempat lain, seorang pria paruh baya dengan profesi supir angkot justru terkesan, “Saya mendukung sekali aksi orang itu, ya siapa tau dengan begitu orang-orang yang ngakunya wakil rakyat itu bisa lebih memperhatikan nasib rakyat. Daripada uangnya dibuang-buang kayak gitu, padahal belum tentu mereka becus ngurusin rakyat, kan mendingan dikasih kerakyat aja sebagai modal usaha,”
“Bapak sudah pernah liat videonya?,” tanya si kuli tinta lagi.
Lelaki tadi nyengir dan memperlihatkan deretan gigi yang kekuningan, “Liat langsung sih belum pernah mas, cuma dengar-dengar dari cerita penumpang,” sahutnya sembari tersenyum malu-malu.
Dan masih banyak lagi komentar-komentar senada, namun lebih banyak yang menyatakan terharu dan setuju dengan aksi dukun ini untuk ‘menyadarkan’ anggota dewan dari keserakahan meraka.
Beberapa hari kemudian berita-berita di televisi kembali ramai oleh sosok dukun misterius. Lelaki itu ternyata jauh lebih muda dan lebih rapi dari penampilannya di video. Ia mengaku bernama Irsyad dan masih tercatat sebagai mahasiswa seni tingkat akhir disebuah perguruan tinggi ibukota. Sejak identitas sidukun terbuka, para insan pertelevisian khususnya bagian berita berbondong-bondong dan berlomba-lomba mengundangnya untuk tampil secara on air ditelevisi, bahkan jika on air tidak memungkinkan bagi Irsyad, mereka menawarkan wawancara via telpon.
“Apa yang mendorong anda membuat video ini? Apakah ingin mengikuti jejak para pendahulu yang berhasil menjadi entertainment atau memang ingin menyampaikan sebuah pesan, seperti yang diungkapkan sebagian besar masyarakat diluar sana?,” seorang wanita berparas ayu dan berpenampilan rapi, tengah mewawancarai Irsyad yang telah hadir distudio TV Cuap-cuap.
Yang ditanya melempar senyum sejenak, “Cenderungnya sih memang untuk menyampaikan pesan Mbak, dan kalo pun ada nilai-nilai lebih yang lainnya, ya saya anggap saja itu sebagai anugerah,” jawabnya dengan tenang tanpa terlihat gugup sedikit pun.
“Masyarakat luas mengatakan bahwa dibalik aksi anda tersembunyi sebuah pesan, sebenarnya pesan apa yang ingin anda sampaikan? Dan bagaimana awalnya anda bisa menemukan ide sekreatif itu ?,”
Irsyad menarik nafas sejenak seakan sedang mengatur kata-kata, “Awalnya mungkin karena merasa geram dan gerah mendengar dewan terhormat begitu berobsesi untuk membuat gedung yang baru sementara kalo kita liat gedung yang ada saja masih layak pakai, jadi buat apa membangun gedung baru yang notabene berasal dari uang rakyat? Saya sempat berfikir, mungkin para anggota dewan matanya sudah buta tertutup materi hingga tidak mampu lagi melihat bahwa diluar sana masih banyak rakyat yang hidup dibawah garis kemiskinan.” Ungkapnya berapi-api.
“Bisa dikatakan anda ingin meneriakkan suara hati masyarakat banyak? Begitu?,” Mbak pembawa berita berusaha menegaskan kandungan pesan dari video yang dibuat Irsyad.
“Begitulah Mbak,” senyum tak lepas dari bibirnya.
“Lalu mengapa anda memilih ‘bentuk’ seorang dukun yang sedang membaca mantera? Mengapa tidak memilih, mungkin, tikus berdasi yang sedang dikejar kucing? Atau apa?,” Mbak yang mewawancarai Irsyad terkekeh ketika memberikan saran yang lain.
“Dinegara kita ini kan Mbak, mistik masih menjadi hal yang begitu dominan dalam kehidupan. Jadi saya bermaksud ‘menyentil’ mereka dengan hal yang biasa terjadi dimasyarakat namun menyeramkan.”
Wanita tadi mengangguk-angguk dan tersenyum mendengar penjelasan yang cukup sederhana tapi erat hubungannya dengan kehidupan masyarakat. “Anda sendiri apa memang memiliki ‘ilmu’ layaknya dukun seperti yang anda lakukan di video itu?,”
Irsyad tertawa seraya menggeleng,”Sama sekali nggak ngerti dan nggak tau,”
Pembaca berita ikut tertawa mendengarnya, “Jadi anda benar-benar hanya akting?,” tanyanya seakan tak percaya.
Irsyad terkekeh dan mengangguk, “Iya Mbak,”
“Wah kalo gitu akting anda jago dong ya! Jangan-jangan sebentar lagi anda akan mengikuti jejak para artis youtube dan mendapatkan tawaran untuk muncul dilayar kaca,”
“Sebenarnya bukan itu yang dicari, saya lebih fokus dalam penyampaian pesan saja. Kalo yang lainnya nggak gitu berharap, ya secara ilmu saya masih harus banyak belajar lagi,”
“Harapan anda kedepannya untuk para anggota dewan?,”
“Ya lebih introspeksi diri saja. Dengan semua fasilitas yang mereka dapatkan, apakah mereka sudah melakukan kewajibannya dengan baik? Atau malah menjadikan fasilitas-fasilitas itu untuk mengeruk kekayaan yang lebih banyak lagi dan menelantarkan nasib rakyat yang justru harus diperjuangkan,” pembaca berita itu terlihat mengangguk-angguk dan mendengarkan dengan seksama.
Diluar sana ternyata banyak masyarakat yang menonton wawancara itu, dalam sekejab sosoknya telah mendapat tempat dihati mereka. Bagi mereka Irsyad adalah seorang wakil rakyat yang real dan nyata serta benar-benar memperjuangkan nasib mereka.
Saat Video dan namanya mencuat, semua kegiatan Irsyad ‘dikuntit’ para kuli tinta pencari berita, mereka ingin tau tentang kehidupannya dan semua tentangnya. Masa kecil, kehidupannya bermasyarakat, serta pendapat teman-temannya tentang dirinya.
Dan seperti artis-artis lain yang melejit berkat situs internet, ia pun mulai sering tampil dilayar kaca, berakting, namun tetap konsisten menyuarakan jeritan-jeritan rakyat.
Sebelum identitas Irsyad terkuak kepermukaan, nun jauh ditempat terpisah, seorang pria setengah baya yang merasa namanya tertera diboneka jerami dalam video merasa panik dengan ‘teror’ itu. Ia memanggil orang yang dianggap ‘pintar’ dan memintanya untuk ‘memagari’ dirinya. Ia benar-benar ketakutan, sampai-sampai keluarganya mengganggapnya bodoh karena mau saja percaya pada video ( yang menurut mereka) amatir.
“Terserah kalian mau menganggap saya apa, yang penting santet orang itu jangan nyampe kesini,” tegasnya tanpa peduli.
Diseberang pulau yang dipisahkan oleh Laut Jawa, tepatnya dikota Samarinda, seorang wanita setengah baya selalu mengamati tingkah dan kata-kata Irsyad. Setiap kali melihat wajah Irsyad, airmata wanita itu selalu saja menetes.
Ialah wanita yang beberapa tahun silam melahirkan Irsyad dan mendidiknya seorang diri, setelah suaminya meninggal ketika Irsyad masih dalam kandungan. Ia merasa bangga anaknya bisa membantu orang-orang untuk meneriakkan nasib mereka. Kerinduan tiba-tiba memenuhi setiap ruang dalam hatinya, berharap anaknya akan segera pulang kepangkuannya.

*****



Penyihir Negeri Seberang


Suara tangisnya terdengar menyayat hati, ntah karena celananya basah, lapar atau kangen dengan belaian orangtuanya. Namun lelaki itu masih terpaku dihadapan jendela menatap lurus kearah langit malam yang bertabur bintang, tak sedikit pun beranjak dan melihat keadaan anaknya yang masih terus menangis.
Langkah kaki terdengar menapaki tangga rumah, seorang wanita setengah baya dengan sigap memeriksa bayi kecil keadaan bayi kecil nan malang itu. Ternyata celananya basah, wanita itu melirik kearah lelaki tadi dan menggelengkan kepala.
“Mau sampai kapan kamu seperti ini, Jaka,” tanyanya sembari mendekati lelaki tadi, bayi yang menangis tadi kini sudah tenang dalam dekapan hangat wanita tua yang lebih dikenal dengan panggilan Mak Onah.
“Relakanlah Nawang, mungkin dia bukanlah jodohmu. Kalau pun dipaksakan, tidak akan baik jadinya. Sekarang yang harus kamu pikirkan adalah anak ini. Kasihan dia, ibunya sudah tidak ada sementara kamu lebih senang larut dalam ketidakpastian menanti Nawang.” Sambung mak Onah lagi. Namun Jaka tetap tak bergeming.
Mak Onah adalah tetangga Jaka yang terdekat. Mak Onah janda tanpa anak yang hidup seorang diri. Ia tau bahwa istri Jaka yang bernama Nawang Wulan adalah seorang bidadari. Tiga hari yang lalu ia mendengar keributan dirumah Jaka yang biasanya selalu tenang. Saat ia sampai dikediaman keluarga kecil ini, ia melihat sosok yang telah melayang jauh keangkasa. Sementara Jaka mengikuti sosok itu dengan airmata berlinangan, tangis anaknya pun terdengar nyaring seakan ikut merasakan kepedihan bapaknya.
“Jaka, anakmu membutuhkanmu,” mak Onah berusaha menyadarkan Jaka dari semua kesedihannya.
Jaka menoleh, kerinduannya pada Nawang Wulan tampak jelas dimatanya. “Aku merasa tidak mampu menjalani hidup tanpa Nawang, Mak,”
Jaka menatap anaknya dengan nanar, sedih rasanya melihat anak itu tumbuh tanpa sosok ibu disisinya. Perlahan, Jaka mulai menggendongnya, membelai dan menciumi bayi mungil yang tanpa dosa itu. Ia larut dalam perasaannya hingga tak mendengar Mak Onah yang berpamitan.
Malam kian larut, seakan tau yang dirasakan bapaknya, bayi itu diam dan tak rewel dalam pelukan Jaka. Namun kedamaian itu terusik manakala Nawang Wulan datang. Jaka yang melihat istrinya telah kembali, merasa senang tak terkira. Sedetik kemudian rasa senang itu musnah saat Nawang menjelaskan maksud kedatangannya.
“Maaf Jaka, aku datang bukan untuk kembali hidup bersama mu. Aku ingin membawa anak kita kelangit. Beberapa hari ini kuperhatikan, kau selalu mengabaikannya,” sorot mata Nawang tidak terlukis penyesalan maupun kesedihan sedikit pun.
“Apakah kamu begitu marahnya padaku? Bukankah aku telah minta maaf dan berjanji akan berubah?,” mata Jaka dipenuhi rasa bersalah yang mendalam.
“Maaf Jaka, aku sudah tidak bisa lagi mempercayainya. Berulang kali kamu berjanji tapi selalu saja kamu ingkari.” Usai mengatakannya, Nawang langsung mengambil anaknya dari dekapan Jaka dan melesat keangkasa.
“Lupakan aku dan anak ini. Anggap kami tidak pernah hadir dalam hidupmu,” teriak Nawang dari angkasa. Sebelum Jaka sempat menyadari yang terjadi, Nawang sudah menghilang dari pandangannya.
Begitu tersadar, hanya sepi dan hampa yang dirasakan hatinya. Perlahan, diseret langkahnya keluar rumah. Ia mulai berjalan meninggalkan rumah mungilnya yang dulu begitu banyak tawa dan bahagia. Ia berjalan dengan ditemani cahaya bulan, tanpa tujuan dan terus berjalan.
Ntah sudah berapa lama ia berjalan, matahari sudah tinggi diatas kepala ketika ia sampai ditepi sebuah jurang. Yang terbersit dibenaknya saat itu hanyalah mengakhiri hidup yang tak lagi bersahabat.
Tinggal selangkah lagi jarak antara Jaka dan jurang ketika seorang wanita bertopi lancip menghampirinya dengan paras ketakutan. “Kamu harus menolongku,” Ntah darimana ia datang, Jaka sendiri tidak melihatnya.
Jaka masih terbengong-bengong memandangi sosok yang kini berdiri dihadapannya. Pakaian wanita itu sungguh aneh, baju terusan berlengan panjang warna hitam polos tanpa motif apa pun, topi tinggi dan lancip menutupi sebagian rambutnya yang berantakan, sementara ditangannya tergenggam sapu dan tongkat kecil.
“Cepat sembunyikan aku, sebelum orang-orang itu menemukanku,” tangannya menggoncang tubuh Jaka.
Alis Jaka bertaut menjadi satu, “Orang-orang yang mana? Dimana aku harus menyembunyikanmu? Aku bahkan tidak mengenalmu.”
“Nanti saja kujelaskan. Apa disini ada kebun talas? Jika aku sembunyi dibawah daunnya, orang-orang itu tidak akan bisa menemukanku,” wajah wanita itu semakin pias ketika menjelaskan, matanya berulang-ulang menatap langit.
Rencana bunuh diri Jaka terlupakan. Ia segera membawa wanita aneh tadi menuju rawa yang tadi sempat ia lewati. Dirawa itu terhampar daun talas yang besar-besar dan menutupi hampir sebagian permukaan rawa.
“Apa ini tanaman talas?,” Jaka mengangguk. Wanita tadi segera berlari masuk kedalam rawa tanpa ragu, “Nanti kalau ada yang menanyakanku bilang saja tidak tau,” ucapnya sebelum benar-benar menyembunyikan dirinya.
Belum sempat Jaka bertanya lebih lanjut, dua wanita tampak mendekatinya. Pakaian yang mereka kenakan mirip wanita yang pertama tadi, masing-masing dari mereka pun membawa sapu dan tongkat kecil ditangan.
Wanita yang berhidung bangir dengan bintik-bintik hitam memenuhi wajahnya bertanya pada Jaka dengan bahasa yang asing. Jaka melongo tak mengerti dengan ucapannya yang aneh.
Wanita yang satunya tampak mengerti kebingungan Jaka, ia pun kembali bertanya dengan bahasa yang tentu saja bisa dimengerti Jaka. “Apa kamu melihat wanita yang mirip seperti kami lewat sini?.”
Jaka menggeleng. Dari tempat persembunyian wanita tadi mengintip yang terjadi, hatinya berharap ketiga wanita itu akan segera pergi.
Wanita ini mencondongkan wajahnya kearah Jaka, sorot matanya menunjukkan keraguan. “Kamu yakin?,”
Jaka mengangguk cepat, “Dari tadi aku disini dan baru kalian yang kutemui,” sahutnya menyakinkan.
Wanita tadi menarik tubuhnya menjauhi Jaka dan berbicara dengan temannya memakai bahasa yang tidak dimengerti Jaka. Tidak lama kemudian mereka pun pergi tanpa pamit. Yang membuat Jaka semakin terperangah, kedua wanita itu melesat keangkasa dengan sapu ijuk masing-masing.
Tepukan pelan dibahu Jaka menyadarkannya, saat ia menoleh wanita tadi tengah tersenyum menatapnya. “Terima kasih sudah menolongku. Aku Namina. Mereka ingin menangkap dan memasukkanku kepenjara.” Tanpa diminta wanita yang mengaku bernama Namina itu langsung menjelaskan.
Pikiran Jaka masih dipengaruhi sapu ajaib yang dilihatnya barusan. Telunjuknya mengarah pada sapu ditangan Namina, “Itu juga….. bisa terbang?,”
Namina terdiam sesaat memandangi sapu dan Jaka bergantian, sebelum akhirnya ia mengangguk dan tersenyum, “Ya, ini kendaraan kami. Bahkan dia bisa jalan sendiri,”
Bola mata Jaka membulat, tak percaya, “Bisa jalan sendiri?,”
Namina terlihat enggan untuk menjelaskannya lebih rinci, ia pun segera berpamitan. “Sudahlah, itu bukan perkara penting. Aku harus segera pergi mencari obat untuk guruku. Sekali lagi, terima kasih atas bantuannya. Daaaaah,”
Namina bersiap-siap pergi ketika tangan Jaka menghentikannya. “Boleh aku tau , obat apa yang kamu cari? Aku ingin membantumu,”
Alis Namina bertaut menjadi satu, matanya terbelalak memandangi Jaka sesaat, “Kamu yakin mau membantuku? Perjalanan ini sungguh berbahaya dan nyawamu bisa menjadi taruhannya,”
“Nggak masalah, toh aku sudah tidak memiliki siapa-siapa lagi.” Namina mendengar jelas kesedihan yang tersembunyi dari kata-katanya.
“Baiklah,” Namina segera menjelaskan bahwa mereka harus mencari sejenis tanaman umbi-umbian berwarna ungu. Berbeda dari umbi kebanyakan yang buahnya terpendam dalam tanah, untuk yang satu ini buahnya harus berada dipermukaan tanah dan tidak terpendam.
Jaka cukup bingung juga mendengar kriteria jenis obat yang dicari Namina. “Sepertinya itu sangat sulit. Aku saja seumur-umur belum pernah menemukannya,” ucapnya dengan menggeleng-gelengkan kepala.
“Tapi bukan berarti tidak ada kan?!,” timpal Namina membangkitkan semangat mereka. Usai mendiskusikan tempat-tempat yang akan mereka datangi, Namina mengajak Jaka naik keatas sapu terbangnya agar perjalanan dapat dipersingkat.

*****

“Penyihir gadungan itu nggak mungkin hilang begitu saja. Dia pasti ketempat itu. Kerahkan semua penyihir dan selidiki daerah itu. Kita harus bisa menangkapnya secepatnya.” Wanita dengan rambut panjang yang sebagian warnanya sudah memutih, tampak memberikan perintah pada bawahannya. Pakaian mereka semua sama, terusan hitam-hitam tak lupa topi, tongkat dan sapu tergenggam erat ditangan.
“Adelle, kamu tetap disini,” panggilnya ketika kumpulan wanita berpakaian hitam membubarkan diri.
“Ya ratu,” yang dipanggil mengangguk hormat.
“Kamu berjaga-jagalah dikamar Deborah. Aku yakin Namina pasti akan mengunjungi gurunya yang renta itu. Jangan sampai ia mendekat atau memberikan sesuatu apa pun pada Deborah. Mengerti?,” Adelle mengangguk dan meninggalkan ruangan.

*****

Sepanjang perjalanan, Namina menceritakan perihal dirinya secara singkat pada Jaka. Namina keturunan Indonesia-Inggris. Ibunya adalah seorang TKW asal Indonesia yang bekerja disalah satu keluarga bangsawan. Sementara ayahnya tidak lain adalah majikan ibunya sendiri. Namina tidak pernah bertemu atau melihat wajah ayahnya, karena saat keluarga ayahnya mengetahui kehamilan ibunya, mereka mengusirnya.
Dalam keadaan hamil tua ibunya, menemukan sebuah rumah tua yang ternyata ditinggali oleh seorang penyihir tua baik hati. penyihir itulah yang menolong kelahirannya. Sementara ibunya meninggal dua hari setelah melahirkannya.
“Dan sekarang Deborah ada bersama mereka. Ia dalam keadaan sakit, ratu jahat itu telah meminuminya racun. Hanya umbi itu yang dapat menangkal racunnya.” Mata Namina berkaca-kaca saat menceritakan semuanya. Tampak sekali batinnya tengah tertekan.
“Mengapa ratu begitu jahat pada kalian? Apakah kalian melakukan kesalahan?,” Jaka mencoba merespon meskipun ia tidak begitu mengerti apa yang dimaksud Namina.
Namina menghela nafas, mencoba melepaskan beban didadanya bersama hembusan nafas. “Deborah memiliki sihir yang lebih kuat dari ratu, dan ia telah mengajarkannya padaku. Ratu tidak terima, ia tidak ingin ada orang lain lagi yang memiliki sihir lebih kuat darinya.”
“Terus bagaimana Deborah bisa ditangkap ratu, sementara ia memiliki ilmu sihir yang lebih kuat dari ratu?,” Jaka semakin tidak mengerti dengan peristiwa yang dialami Namina.
“Tentu saja dengan tipu muslihat. Ratu berpura-pura baik dan mengundang Deborah tapi ternyata minumannya telah dibubuhi racun. Aku tidak bisa melakukan apa pun untuk membantunya. Deborah sudah mengusirku dan menghalau ratu serta anak buahnya seorang diri.” Airmata menitik dipipinya yang putih bersih. Jaka terdiam, dia cukup mengerti kesedihan yang dirasakan Namina. Ia pun tidak lagi bertanya-tanya.
“Kalau kamu sendiri, bagaimana? Masa sih kamu tidak memiliki keluarga satu pun,” Namina menoleh pada Jaka yang tiba-tiba menjadi sendu. Kesedihan terbayang dari bola matanya. “Maaf, jadi bikin kamu sedih.” Namina merasa bersalah karena pertanyaannya itu.
“Oia, sekarang kita harus kemana lagi? Ini sudah hari ketiga kita menjelajah, tapi sampai sekarang umbi ajaib itu belum juga ketemu,” Namina mengalihkan pembicaraan agar Jaka tidak lagi bersedih.
Jaka terdiam, ia tampak tengah berpikir dan mengingat-ingat. Tidak lama kemudian, “Aku ingat, dihutan sebelah sana ada tanaman liar dan kalau nggak salah warna buahnya ungu. Ya siapa tau diantaranya ada yang kamu cari,”
Namina tersenyum mengangguk, secepat kilat diarahkannya sapu terbangnya ketempat yang tadi ditunjuk Jaka. Namun perjalanan mereka terhenti, didepan sana sekelompok wanita berbaju hitam-hitam tampak menyisir hutan yang akan mereka datangi.
“Duh, bagaimana nih? Mereka ada disana. Jangan sampai mereka duluan yang menemukan umbi itu,” desah Namina gusar.
Otak Jaka berputar-putar mencari jalan keluar. Sebuah senyum terukir dibibirnya, “Kita turun disini aja, dibawah sana ada jalan setapak yang jarang dilalui orang. Kita berdoa saja semoga orang-orang itu tidak menemukannya,”
Namina segera menukik tajam untuk pendaratan, membuat dada Jaka berdesir ngeri. Mereka pun segera memasuki hutan diam-diam dan benar kata Jaka, orang-orang itu memang belum menemukan jalan setapak itu.
“Masih jauh tempatnya?,” Namina tampak kelelahan, keringat membanjiri seluruh tubuhnya. Ia sepertinya tidak biasa berjalan sejauh itu.
“Nggak, tuh didepan sana tempatnya,” tunjuk Jaka pada timbunan semak didepan mereka.
“Hai Namina ada disini,” teriak seseorang tiba-tiba dari arah belakang.
Serentak Namina dan Jaka menoleh, mendapati wanita pendek tambun dengan hidung bengkok memergoki mereka. Namina menyembunyikan Jaka dibelakangnya saat dibalik tubuhnya ketika wanita didepan sana menghunuskan tongkatnya dan mengucapkan mantera.
Jaka tidak mengetahui apa yang terjadi, ia hanya melihat kilatan-kilatan cahaya tanpa berani menengok kedepan. Telinganya mendengar Namina mengucap kata-kata yang ia tidak mengerti makna dan artinya.
“Cepat naik,” perintah Namina pada Jaka. Sapu terbangnya tanpa diperintah sudah dalam keadaan siap terbang, sapu itu seakan mengerti bahaya yang tengah mengancam tuannya. Namina mendorong tubuh Jaka yang masih terpaku ditempatnya.
“Bawa dia pergi dari sini,” perintah Namina pada sapunya. “Sekarang aku bergantung padamu, sapu ini akan membimbingmu. Dia akan memberi tau apa yang harus kamu lakukan.”
Jaka tidak sempat bertanya lebih lanjut maksud dari kata-kata Namina, sapu itu sudah membumbung tinggi diangkasa, membawanya menjauh dari tempat itu.

*****

Namina berada ditengah-tengah para penyihir yang membencinya. Tangannya dan kakinya diikat, mulutnya pun dibekap. Sementara tongkatnya, disembunyikan ditempat lain.
Wanita berambut putih terlihat puas dengan hasil tangkapan anak buahnya, matanya berseri-seri, “Kamu pikir, umbi ajaib itu benar-benar ada? Hahaha ketahuilah hai anak bodoh, umbi ajaib itu hanya dongeng semata dan kini kamu akan melihat Deborah mati didepan matamu.” Ucap ratu penyihir bahagia, ia tertawa selebar-lebarnya merayakan kemenangannya.
Cuih! Namina meludah menghina wanita itu. “Kamu pikir ini sudah berakhir? Tidak, ini baru awal. Aku percaya umbi ajaib itu benar-benar ada, dan sebentar lagi akan hadir disini,” ucap Namina sinis menghentikan tawa ratu penyihir tadi.
“Terus saja bermimpi, karena hanya itu yang kini bisa kamu lakukan. Bermimpi,” timpal ratu penyihir tak kalah sinisnya.
“Oh ya, kita lihat saja nanti.” Tantang Namina tanpa merasa takut.
“Masukkan dia kepenjara bawah tanah.” Perintah sang ratu penyihir. Dua orang penyihir segera membawanya dengan paksa. Sang ratu penyihir mengalihkan pandangannya kepada para penyihir lainnya. “Apa ada yang membantu Namina selama pelariannya?,” tanyanya penasaran.
“Ada ratu. Seorang pemuda setempat, ia selalu bersama Jaka. Dan saat kami menangkap Namina, pemuda itu dibawa pergi oleh sapu Namina,” sahut penyihir berbadan kurus, saking kurusnya tubuhnya bagaikan tulang berjalan.
Ratu menahan geram mendengar laporan itu. “Bodoh, kenapa kalian tidak menangkap pemuda itu sekaligus? Sekarang cepat kalian cari pemuda itu, tangkap dia hidup atau mati.” Hardiknya keras pada semua penyihir yang ada diruangan itu.
“Dasar orang-orang bodoh, begitu saja harus disuruh dulu,” umpatnya kesal saat melihat para penyihir membubarkan diri.

*****

Tangan Jaka sudah letih menyisir rerimbunan semak mencari umbi ajaib pesanan Namina. Sementara si sapu terus saja menemaninya berjalan disisinya dengan manis. Jaka menarik nafas berat, tubuhnya terasa lemas, sudah sekian lama ia mencari namun umbi itu masih belum juga ia temukan. “Hah, ini sih seperti mencari jarum dalam tumpukan jerami. Mana belum tentu ada lagi.” Gumamnya pada diri sendiri.
“Percayalah umbi itu benar-benar ada,” tiba-tiba terdengar suara tanpa ada wujud.
Jaka terkejut setengah mati, matanya memandangi sekitar namun tidak juga ia menemukan sosok yang berbicara tadi. “Siapa disitu? Jangan main-main ya,” sahutnya dengan suara yang digalak-galakin, padahal hatinya tengah kebat-kebit tak karuan.
“Siapa yang main-main? Aku bicara sungguh-sungguh. Umbi itu benar-benar ada,”
Jaka menajamkan pendengarannya, ia merasa suara itu berasal dari sapu yang tengah berjalan disampingnya. Matanya menatap tak berkedip, “Yang bicara tadi itu….. kamu?,” tanyanya setengah tak percaya.
“Ya siapa lagi?,”
Jaka malah melompat kebelakang kaget. “Kamu…. Bisa bicara?,” sapu tadi tampak menaik turunkan gagang kayunya, seolah mengangguk.
“Bagaimana caranya?,” Jaka masih tetap tak percaya. Mulutnya ternganga, matanya menatap takjub.
“Ya gitu deh, aku juga bingung kalau harus menjelaskannya,”
Jaka menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. “Kok selama ini nggak bilang kalau kamu bisa ngomong?,”
“Kamu kan nggak nanya,” Jaka terus saja memandangi sapu itu dari ujung keujung, selama ini yang ia tau si sapu hanya bisa terbang, tidak lebih.
“Sudahlah tidak usah membahas hal yang tidak penting seperti ini. Sekarang kita harus cepat menemukan umbi itu, Karena nyawa Namina dan Deborah sedang terancam.”
Jaka kembali tersadar dengan tugas yang menunggunya. sapu benar, ia harus cepat menemukan umbi itu bila ingin Namina selamat, karena hanya umbi itu yang dapat menyelamatkan Namina dan Deborah.
Jemari Jaka kembali menyisir rerimbunan semak, keletihannya yang tadi mengganggu tiba-tiba saja menguap. Ia tampak begitu bersemangat. Sapu ikut membantu menyisir rerimbunan.

*****

Ratu penyihir mengunjungi Namina dipenjara bawah tanah. Matanya menyiratkan kelicikan yang dalam. “Kamu pikir pemuda bodoh itu akan kemari membawa umbi ajaib dan menyelamatkanmu?,” ratu penyihir memain-mainkan rambutnya yang putih, membuat Namina semakin muak melihatnya.
“Silakan bermimpi. Tapi yang harus kamu tau, sebentar lagi pemuda itu akan berada dipenjara ini bersama mu. Dan saat itu terjadi, kamu akan melihat Deborah serta pemuda itu mati didepan matamu,” ratu penyihir tertawa terbahak-bahak dan meninggalkan Namina yang mulai mencemaskan nasib Jaka.
“Deborah, apa yang harus kulakukan? Seandainya kamu ada disini, kamu pasti bisa memberi tauku apa yang bisa kulakukan.” Airmata menitik dipipinya yang kehitam-hitaman karena debu. Ia merasa bersalah sudah membawa Jaka kedalam masalahnya.

*****

Dua hari sudah berlalu, namun umbi ajaib itu belum juga terlihat oleh mata Jaka. terbersit sebuah gagasan yang bertentangan hatinya, tapi ia merasa tidak memiliki pilihan lain. “Sapu, bisakah kamu mengantarku kesuatu tempat?,”
“Kemana pun itu, akan kuantar,” sahut sapu mantap tanpa banyak tanya. Jaka segera naik, ia memberi instruksi untuk menuju langit. Meskipun penasaran, sapu tetap terbang mengikuti perintah Jaka. Ia percaya Jaka bermaksud baik dan ingin membantu Namina.
Dipintu langit, pria bermuka seram menghadang perjalanan mereka. “Mau kemana?,”
Nyali Jaka menciut melihat kumis pria yang melintang dan tebal diatas bibir. Namun dikuatkannya hatinya, “Maaf bisa saya bertemu Nawang? Saya Jaka.”
Pria seram itu memandang penuh curiga. “Tolonglah saya benar-benar ingin bertemu Nawang, ada hal penting yang harus saya tanyakan,” pinta Jaka memohon, berharap pria tadi menaruh simpati padanya.
Tidak berapa lama, pria itu muncul diikuti Nawang dibelakangnya. Jaka tersenyum senang, Nawang mau menemuinya, “Nawang,” lirih bibirnya tanpa disadari.
“Ada perlu apa? Dan bagaimana kamu bisa sampai disini?,” tanya Nawang tak bersahabat, sepertinya ia masih marah pada Jaka.
Senyum diwajah Jaka memudar berganti kesedihan. “Maaf kan aku Nawang. Aku kesini untuk bertanya, apakah kamu tau dimana letak umbi ajaib? Dibawah sana dua nyawa manusia tengah terancam, bila aku tidak segera menemukannya,” jawab Jaka tanpa basa basi. Ia merasa tidak ada gunanya berbasa basi, toh Nawang masih begitu marah padanya.
“Umbi ajaib?,” sebelah alis Nawang naik, ia heran mengapa Jaka mencari tanaman itu.
“Ya umbi ajaib. Tolonglah aku untuk kali ini, aku janji nggak akan mengganggu kehidupanmu lagi.” Pinta Jaka memelas.
Nawang menghembuskan nafas, ia merasa Jaka sudah banyak berubah. Kini ia bisa peduli pada orang-orang sekitarnya, tidak seperti dulu yang acuh. Nawang pun memberi tau dimana Jaka dapat menemukannya.
“Jaka, teruslah seperti ini, teruslah peduli pada orang-orang yang memerlukan,” Nawang memberikan senyum terindahnya yang dulu hanya milik Jaka seorang. Jaka mengangguk, setelah mengucapkan terima kasih ia berlalu dari sana.
Dengan bantuan sapu yang sudah tau seluk beluk istana ratu penyihir, Jaka bisa menemukan kamar Deborah yang dijaga ketat. Lewat jalan rahasia, Jaka berhasil masuk tanpa diketahui penyihir penjaga. Jaka segera memakankan umbi ajaib yang telah disulap menjadi bubur itu. Perlahan namun pasti mata Deborah terbuka. Semenit kemudian ia pun langsung segar bugar.
“Nyonya kita harus segera menyelamatkan Namina,” ucap sapu cepat.
Deborah mengangguk mengerti. “Terima kasih Nak, mulai dari sini, serahkan semuanya padaku. Sapu bawa dia ketempat aman,” sapu segera menaikkan Jaka keatasnya dan membawanya melintas melalui jendela yang telah dibuka paksa oleh Deborah. Hal terakhir yang dilihat Jaka, semua penyihir berlarian kekamar Deborah. Selanjutnya ia tidak tau apa-apa lagi.
Gelap sudah berganti terang, Jaka terus saja mondar mandir ditempatnya. Ia gusar menunggu berita. Dari kejauhan melesat benda berwarna hitam dengan cepat, makin lama makin jelas bahwa benda itu adalah Deborah dan Namina yang memakai baju hitam-hitam. Jaka segera menyambut mereka penuh suka cita.

*****