ulie said

TiDak AdA mAnuSiA YanG Bod0H
yAnG aDa HanYa MaNusIa yANg MalAS

Senin, 26 April 2010

cahaya hati ibu

“ce, maaf ya aku ga bisa ngantar kamu. Aku harus cepat pulang, anakku lagi sakit.” Kata Mirna dengan mimik menyesal karena membiarkan ice pulang sendiri malam ini.
“Ga papa mir, saya bisa naik angkot atau ojek kok,” jawab Ice dengan senyum yang tidak pernah pudar dari bibirnya.
“Klo gitu aku duluan ya Ce!’” pamit Mirna tidak lama kemudian.
Malam ini Ice dan Mirna memang harus lembur menyelesaikan beberapa pekerjaan yang benar-benar mepet waktunya, namun Mirna harus pulang lebih dulu karena anaknya sedang sakit. Dan karena sudah tidak ada siapa-siapa lagi Ice terpaksa cari angkot atau ojek sendirian.
“Mau kemana neng, kok sendirian aja. Kita temenin ya…” beberapa orang preman yang mabuk mendekati Ice.
“Kok diem aja sih, sama kita ga usah takut kaleee neng.” Kata preman yang jangkung.
Ice semakin ketakutan dan memeluk erat tasnya.” Ya Allah, apa yang harus kulakukan, bantulah dan lindungilah hamba-Mu ini…” bisik hati Ice.
“Psst, jangan gitu dong, kan kasian. Liat tuh mukanya udah pucat. Kalian sudah menakutinya…. Ha….ha….” kata preman yang berambut gondrong. Tidak lama kemudian ketiga preman itu sudah mengelilingi Ice yang semakin ketakutan.
“Tolong kang, jangan ganggu saya. Akang boleh ambil tas saya tapi tolong biarkan saya pergi. Tolong kang!!!.” Kata Ice dengan memelas, namun preman-preman itu tidak mengindahkan Ice. Mereka langsung membawa Ice kesemak-semak dan melucutinya.

*****

Dua tahun kemudian.
“Ce, sepertinya akhir-akhir ini wajah kamu terlihat pucat, kamu sakit? Kalo sakit istirahat aja dulu.” Tanya Mirna saat melihat wajah Ice yang sering pucat.
“saya ga papa Mir, mungkin cuma kecapean biasa aja,” sahut Ice dengan lembut.
“O gitu….. eh Ce, hari minggu nanti kamu datang kerumah ya, Reza ultah. Ya acara kecil-kecilan aja sih,” kata Mirna tidak lama kemudian.
“Insya Allah Mir, emangnya ultah yang keberapa?,”
“Yang ke-4,” dering telepon menghentikan obrolan mereka. Tidak lama kemudian Mirna pergi keruang pimpinan untuk memberikan dokumen yang diminta.

*****

“Ce, akhir-akhir ini kamu sering banget sakit. Udah coba periksa kedokter? Siapa tau ada penyakit, daripada ntar tambah parah.” Kata Marsya teman kontrakan Ice sembari menyelimutinya yang demam.
“Saya ga papa Sya, mungkin cuma kecapean aja. Sya bisa minta tolong telponkan Mirna, tolong kasitau dia bahwa saya tidak bisa masuk hari ini soalnya lai ga enak badan.”
Dengan segera marsya pun menghubungi Mirna teman kantor Ice.” Kata Mirna kamu istirahat aja, kalo besok masih sakit ga usah kerja aja, nanti dia yang ngomong ke bos mu.”
“Ce, makan dulu baru tidur. Kamu kan belum makan dari tadi,” kata Sari dengan membawa bubur yang baru selesai dimasaknya.
“nanti aja Ri, aku ngantuk,”
“Makan dulu, biar sedikit. Ayo buka mulutnya…” kata Sari menyuapi Ice seolah menyuapi anaknya. Ice pun tersenyum melihat tingkah Sari dan membuka mulutnya.
“Besok ga usah kerja dulu karena mas Dedi akan datang special untuk memeriksamu,” kata Nita dengan sumringah.
“Meriksa Ice sih cuma alasan doing, tujuan utamanya biar kalian bisa ketemuankan?!,” tebak Marsya cepat.
“Huehehe….. Marsya tau aja.” Ice merasa sakitnya berkurang, melihat perhatian tiga orang teman serumahnya itu.
Sari kembali menyodorkan sendok berisi bubur namun Ice menolak,” Klo masih mau rebut mending keluar. Ice harus istirahat.” Kata Sari saat melihat Marsya dan Nita akan melanjutkan ‘adu mulut’ mereka.
“Ce, istirahat ya. Kalo ada apa-apa kami ada diluar kok.” Pesan Nita sebelum keluar kamar.
Ice hanya mengangguk,” Ya Allah, terima kasih Engkau tlah mengirim mereka untuk tinggal serumah denganku, “bisik hati Ice.
Keesokan harinya Ice yang masih demam diperiksa oleh Dedi,” sudah berapa lama demamnya?,”
“Mulai kemarin sih, tapi beberapa bulan ini Ice jadi sering demam tanpa sebab,” sahut Nita mewakili teman-temannya.
“Untuk sementara saya kasih resep ini dulu, kalo udah baikan, mungkin bisa dicoba untuk tes dilaboratorium, siapa tau ada penyakit dalam yang sulit dideteksi.” Dedi segera memberikan sehelai kertas pada Nita.
“Kalian cuma berdua? Yang lain mana?,” sambung Dedi saat menyadari tak ada orang selain kami.
Nita yang merasa senang dengan kunjungan Dedi langsung menjawab dengan riang,” Yang lain lagi pada kerja, aku sendiri hari ini lagi ga ada mata kuliah,” Dedi hanya mengangguk-angguk. Dedi dan Nita baru beberapa bulan jadian. Dedi adalah seorang mahasiswa kedokteran yang lagi magang disebuah rumah sakit.
Beberapa hari kemudian Ice mulai membaik dan ia pun mengikuti saran Dedi untuk tes kesehatan disebuah laboratorium. Namun, hasilnya jauh dari perkiraan, bahkan untuk lebih memastikannya Ice pun kembali melakukan serangkaian tes, namun hasilnya tetap sama dan tetap mengerikan…… positif HIV. Ice hanya bisa menangis dan menangis serta mengingat kejadian malam mengerikan itu.
Setelah pemeriksaan itu Ice lebih banyak diam, badannya pun semakin menyusut. Akhirnya ia memutuskan untuk pulang kampung dan berhenti bekerja. Saat surat pengunduran dirinya diserahkan, semua teman-temannya menanyakan sebab kepergiannya. Dengan berusaha tetap tabah dan tersenyum, Ice hanya menjawab, “Kasihan pada ibu yang sekarang hidup sendirian karena adik ikut suami kekota lain,”
Teman-teman kantor dan dirumah kontarakan pun akhirnya memaklumi, walau berat tapi Ice berusaha tabah dan tetap tersenyum, ia tidak ingin seorang pun dari temannya mengetahui penyakitnya.

*****


Semenjak kepulangannya, Ice pun semakin sering sakit. Ibunya merasa heran dan bingung dengan keadaan Ice, bahkan tetangganya pun mulai bergunjing yang tidak-tidak mengenainya.
“Jangan-jangan waktu dikota, Ice bekerja yang bener gitu. Jadi dia tertular penyakit seperti Narti anaknya ibu Imah.” Ucap seorang ibu kepada ibu-ibu lainnya yang ada dipasar.
“Maksud bu Joko penyakitnya ‘anak nakal’ gitu?’” Tanya ibu yang lain pada si pembuat gosip, yang tak lain adalah bu Joko.
“Ya gitu deh, ibu-ibukan tau apa pekerjaan Narti dulu waktu dikota, dan jenis sakit apa yang diderita Ice mirip dengan sakitnya Narti,” sahut bu Joko dengan heboh. Semakin lama gosip itu semakin tersebar dan semakin banyak orang yang menggunjingkan Ice.
Ibu Ice hanya berusaha bersabar dan tabah menghadapi sikap orang-orang dikampungnya. “Bu, maafin Ice ya, pulang-pulang bukan bikin ibu senang malah membebani ibu dengan penyakit dan gunjingan orang-orang.” Kata Ice dengan berlinangan airmata menatap ibunya.
“Kamu seperti tidak tau saja gimana tabiat orang-orang disini. Sudahlah tidak usah difikirkan, toh ibu tidak merasa terbebani, kamukan anak ibu jadi sudah seharusnya ibu merawat kamu saat sakit,” kata ibunya dengan lembut.
“Bu, Ice memang sakit, bisa dibilang parah dan kemungkinan umur Ice tidak akan lama.”
“Kamu tidak boleh berkata seperti itu nak, separah apapun penyakit yang diderita oleh manusia tapi kalo Allah SWT belum menghendakinya, maka orang itu akan tetap hidup.”
“Bu, Ice mau cerita sesuatu yang Ice rahasiakan dari siapapun kecuali Allah SWT….” Ice pun mulai menguatkan diri untuk menceritakan peristiwa naas itu pada ibunya.
“Tiga tahun yang lalu, sepulang kerja, Ice…. Ice….diperkosa tiga orang preman bu. Saat itu Ice lembur dan pulang sekitar 22.30. ketika Ice menunggu kendaraan yang lewat, preman-preman itu datang dan memperkosa Ice bu.” Cerita Ice dengan wajah bermandikan airmata. Ibunya yang sejak tadi terlihat menyimak tak urung ikut menangisi kemalangan anaknya.
“Sejak peristiwa itu Ice selalu berharap dan berdoa agar tidak terjadi hal-hal yang lebih mengerikan lagi. Namun, setahun kemudian Ice mulai sakit-sakitan, hingga seorang teman menyarankan untuk tes ke laboratorium dan ternyata hasilnya…….. HIV positif. Salah satu preman itu telah menularkannya pada Ice….” Airmata Ice semakin deras, peristiwa naas itu kembali menari-nari dibenaknya.
“Sungguh berat beban yang menimpamu nak. Tapi kamu harus tetap tabah dalam menjalaninya karena ibu yakin dibalik semua itu ada hikmah yang tersembunyi dan ibu pun yakin Allah SWT pasti sangat menyayangimu hingga Ia mengujimu dengan peristiwa ini, Ia ingin tau seberapa kuat imanmu nak,”
“Ibu tidak takut tertular?’,”
“Buat apa takut sama sebuah penyakit, ibu hanya takut pada Sang Pencipta. Ibu juga tidak malu dengan gunjingan orang-orang , toh itu tidak semuanya benar. Bagi ibu, kamu tetap anak ibu yang paling baik, cantik dan suci. Jadi kamu tidak perlu memikirkan omongan orang lain.” Seru ibunya dengan bijaksana.
Ice pun langsung memeluk ibunya dengan penuh kasih sayang, “Makasih ya bu, udah mau nemenin dan ngerawat Ice serta tidak merasa malu terhadap omongan-omongan orang,” bisik Ice ditelinga ibunya.
“Makasih juga karena Ice mau jadi anak ibu yang baik dan taat pada semua perintah Allah SWT serta hormat pada orangtua,” balas ibunya sembari tersenyum tulus diiringi linangan airmata.
“Ya Allah, terima kasih karena Engkau memberikan ibu yang teramat sangat baik untukku. Terima kasih ya Allah…” syukur Ice dalam hati.

*****

Kegetiran Masa Lalu

Hari yang ‘indah’. Pagi, diomel-omelin bos karena salah menyambungkan telp ke supplier. Siangnya, teman salah beliin makan, mintanya telor dikasih ayam (padahal akukan alergi banget dengan unggas yang satu itu). Sorenya pas mau pulang ternyata angkot-angkot pada mogok dan akhirnya aku terpaksa harus ngeluarin duit lebih untuk naik ojek. Saat itu kupikir ‘keindahan’ hari ini akan berakhir, namun aku salah. Saat makan malam aku kembali menikmati ‘keindahan’ karena pertanyaan orang tuaku.
“Kapan nih calon kamu diajak kerumah? Mamak kan juga mau mengenal calon menantu.” Kata mamak tanpa basa basi.
Aku langsung tersedak makanan yang ku kunyah. hu…..pertanyaan ini adalah pertanyaan yang paling kubenci dan untuk kesekian kalinya kembali di bahas, di meja makan pula.
“iya, Bagus dan Bagas saja sudah pernah membawa pacarnya kerumah, masa kamu belum pernah sama sekali,” timpal bapak dan membuatku semakin kesulitan bernafas. Sementara dua adik kembarku, Bagus dan Bagas menampakkan senyum kemenangan diwajah mereka.
“Belum ada. belum mikir yang gituan,” sahutku singkat.
“kalo kamu ga mikir dari sekarang, kapan lagi kamu akan mikirnya? Ingat, umur kamu itu terus bertambah. Jangan sampai adik-adikmu mendahului mu,” sambung ibu lagi.
Seandainya terjadi longsor tiba-tiba didalam rumahku, aku berharap aku bisa ikut longsor itu masuk ke dalam bumi saat ini juga agar bisa menghilang dari tatapan mereka semua.
“Win kamu denger gak kata-kata mamak?,”
“Iya mak, Win dengar. Tapi untuk saat ini Win ga mau mikir hal itu. Masih banyak hal yang lebih penting daripada mencari pasangan hidup,”
“Kapan kamu akan memikirkannya? Ingat umurmu bukan lagi anak remaja,” kata-kata Mamak tadi terasa sangat menohok.
“Mamak bosan mendengar omongan orang-orang yang mengatakan kau perawan tua yang tak laku-laku. Jadi Mak harap kau bisa memikirkannya dari sekarang,” sambung Mamak kemudian.
Aku berusaha untuk memaklumi perasaan wanita dihadapanku ini, “Ya Mak, saya ngerti!,”
Kami pun kembali hening dan menyantap makanan dengan tenang, namun pikiranku tidak bisa setenang itu.

*****

“Win, dari mas Irwan!,” kata Yana dengan menyerahkan gagang telpon saat aku sedang bersiap-siap pergi makan siang.
“Bilang aja aku ga ada,” bisikku
“Aku udah terlanjur bilang kamunya ada, nih!!!,”
Dengan malas, aku pun menjawab telpon itu, “Halo, ya mas ada apa? Maaf mas saya gak bisa. Saya lagi nunggu customer, bentar lagi datang. Maaf ya mas.” Segera ku letakkan gagang telpon itu dan menghela nafas berat.
“Kenapa sih Win, kamu selalu saja menolak ajakan mas Irwan? Apa kamu gak tau kalo mas Irwan suka sama kamu?,” Tanya Yana yang memperhatikanku sedari tadi.
“Justru hal itu yang tidak kuinginkan.” Gumamku pelan
“Maksudnya??!,” Tanya Yana terheran-heran.
“Sudahlah, gak usah dibahas lagi!,”jawabku dengan berlalu meninggalkannya yang masih kebingungan.
Baru aja kaki akan melewati pintu, tiba-tiba terdengar suara menegur, “Win, mau makan ya? Bareng yuk, aku yang traktir,” ajak Dedi dengan riang.
“Maaf Ded, aku gak bisa. Aku udah janji ama Yana mau nemenin dia cari kado siang ini,”
“O gitu ya,” keriangannya tiba-tiba menguap berganti dengan kecewa.
“Sorry ya Ded, gimana kalo lain kali?,” usulku kemudian, dengan serta merta wajahnya kembali riang.
“OK deh, aku tunggu lho waktunya,” ucapnya dan berlalu pergi.

“Emang aku mau nyari kado untuk siapa?,” Tanya Yana yang ternyata sudah ada dibelakangku.
“Mau makan gratis ga?,” todongku cepat.
“Mau…mau…berangkat sekarang yuk,” ajak Yana dengan semangat.
“ye… giliran makan aja cepat banget jawabnya,” pikirku
“Win, kenapa sih kamu selalu aja menolak cowok-cowok itu? Sebenarnya ada apa?,” Tanya Yana saat kami lagi nunggu pesanan disebuah rumah makan yang agak jauh dari kantor.
“Ga ada apa-apa, Cuma males aja!,”
“Tapi Win….”
“Udah deh, gak usah ngomongin itu, kita makan aja. OK,” kataku cepat.
Sesaat kemudian suara yang sangat familiar terdengar, “Hai Win, Yan,” sapa mas Irwan mengejutkanku dan Yana.
“Hai mas, mau kemana? Kok bisa nyasar sampe sini?,” Yana berusaha ‘melindungi’ keterkejutanku.
“Rencananya sih mau ngajak kalian makan, karena tadi Wiwin bilang customernya udah mau datang, jadi kupikir kenapa gak nunggu disini aja? Eh, ternyata kalian udah ada disini.” Jelas Irwan dengan sumringah.
Wajahku sejenak merah padam karena malu, untung saja mas Irwan tak memperhatikannya karena Yana mengajaknya ngobrol, thanks Yana.
“Kalian atau kalian??!,” goda Yana membuat Irwan salting sejenak.
“Aku duduk bareng disini ya,” Tanyanya meminta ijinku yang sejak tadi terdiam.
Dengan tergagap aku pun menjawab,” Oh…eh, duduk aja gak papa kok,” dan hingga akhir, aku lebih banyak diam dan larut dengan pikiranku sendiri. Aku merasa beruntung dengan keberadaan Yana yang mampu menghilangkan ‘kebekuan’ yang ada.
“Kok kamu tadi banyak diam, padahalkan mas Irwan datang untuk kamu,” Tanya Yana saat kami berjalan kekantor.
“gak usah dibahas ya, kepala ku rada pusing nie,” jawabku malas, Yana hanya bisa terdiam dengan berbagai pemikiran diotaknya.

*****

Suara ketukan dipintu membuatku mengalihkan mata dari buku yang kupegang, “ Gak dikunci!!!,”
Beberapa saat kemudian bapak masuk kekamarku, “Lagi ngapain Win?,”
“Lagi baca buku aja, ada apa pak?,’ seingatku semenjak kami pindah kerumah ini 10 tahun yang lalu, bapak jarang kekamarku hanya untuk pertanyaan basa-basi seperti itu.
Sejenak beliau tampak menarik nafas panjang,”Win, kalo boleh bapak tau, hal apa yang membuatmu belum juga memikirkan masalah jodoh? Padahal kata Yana, dikantor banyak pria yang mendekatimu. Apakah ada salah satu dari mereka yang kamu sukai?”
Hu…lagi-lagi masalah ini.apa aja sih yang udah Yana omongin sore tadi ?, “Ga ada apa-apa sih pak, Win cuma belum mau mikirin masalah ini.’
“Tapi nak, tahun ini kamu akan berumur 28 tahun. Kapan lagi kamu mau memikirkannya?,”
“Pak, tolong…..tolong jangan paksa saya!,”
“Win, bukannya bapak memaksa kamu, tapi kami sebagai orang tua ingin sekali melihat kamu menikah sebelum adik-adikmu,”
Ya Allah…apa yang harus aku lakukan? Haruskah aku…
“Kemarin Bagus meminta bapak untuk melamar Nita,” sambung bapak lagi.
“Ya udah pak, lamar aja Nita dan nikahkan mereka. Win gak masalah,” sahutku dengan cepat.
“Tapi bapak tidak mau melihat kamu didului oleh adikmu,”
“Pak, tidak ada hadist atau ayat dari Al-qur’an yang memandang dosa jika adik mendahului kakaknya. Bahkan justru menghalangi anak untuk menikah adalah dosa,”
Tiba-tiba Bagus ikut masuk kekamarku, “Kak, tolong ikuti saja keinginan bapak dan mamak. Tolong suruh pacar kakak melamar kakak segera, karena bapak dan mamak tidak mau melamar Nita kalo kakak belum dilamar lebih dulu,” pinta Bagus dengan memohon.
Ya Allah, serumit inikah masalah jodoh dikeluargaku?
“Orangtuanya akan menikahkan Nita dengan orang lain jika saya tidak segera melamarnya,” jelas Bagus lagi.
“Bagaimana kakak mau menyuruh pacar kakak untuk melamar, kalo pacar saja kakak memang tidak punya.” Kataku memberi pengertian pada adikku yang satu ini agar tidak mendesakku sedemikian rupa.
“Gus, kakak ikhlas kamu menikah lebih dulu, kakak rela,”sambungku lagi.
“Mamak tidak setuju Bagus mendahuluimu,” sahut mamak dengan tegas didepan kamarku.
“Mak, tolong ngertiin saya kali ini. Saya benar-benar belum bisa dan belum siap untuk memikirkan hal semacam itu,”
“Mamak tidak mau tau. Kalo kamu mau melihat Bagus menikah, kamu harus menikah lebih dulu, titik.”
Tanpa aku sadari, air mata mulai berjatuhan dipipiku. Sedari tadi aku berusaha untuk bersabar namun sepertinya aku memang harus berterus terang, “Kenapa ga satupun orang dirumah ini yang bisa ngerti apa keinginan saya. Kalian semua harus selalu saya ikuti tanpa bisa saya bantah sedikitpun. Kalian mau tau kenapa saya ga pernah pacaran sampai detik ini?,” sejenak aku memandang kearah mereka semua dengan mata yang memerah menahan amarah.
“Karena saya benci laki-laki. Saya memutuskan untuk tidak menikah sampai kapan pun saat menyadari hidup saya sudah hancur. ‘Harta’ yang saya banggakan sebagai wanita sudah hilang sejak saya SD,” mamak yang telah duduk disebelahku tampak terkejut mendengar pengakuanku.
“Dan kalian terus saja menyuruh saya mencari pendamping. Untuk apa? Untuk dicaci maki? Untuk dilecehkan?. Cukup… kehilangan ‘harta’ sudah membuat saya sakit bertahun-tahun dan saya tidak mau kembali disakiti dengan hal-hal seperti dicaci serta dilecehkan untuk sebuah kesalahan yang tidak saya perbuat,” airmataku mengalir semakin deras dan deras hingga pandanganku mengabur.
Mamak yang menagis sedari awal mendengar penuturanku langsung memelukku, “Katakan nak, siapa yang tega melakukan hal itu padamu? Mengapa kamu menyimpan kepedihan ini sendiri selama bertahun-tahun, apa kamu tidak percaya pada kami keluargamu?,” isak mamak
“maafkan mamak nak, karena selama ini mamak selalu menuntutmu. Maafkan mamak juga karena ternyata mamak sudah lengah tidak memperhatikan dirimu,”sambung mamak dengan perasaan menyesal. Ia benar-benar tak menyangka, aku sanggup memendam ‘luka’ sedalam itu sendirian sekian lama.
Bagus pun tampak terkejut dengan pengakuanku, wajahnya menyiratkan penyesalan karena telah mendesakku hingga akhirnya aku harus mengoyak luka lama yang belum sembuh, bahkan mungkin tidak akan pernah sembuh. Sementara bapak terlihat menunduk dalam-dalam dan menangis tanpa ada yang melihat airmata penyesalannya. Namun, sebanyak apapun airmata penyesalan itu ditumpahkan tetap tidak akan mengembalikan hidupku yang terkoyak dan hancur karena perbuatannya dulu.
Sedangkan aku hanya terdiam dengan airmata terus mengurai, pemandangan 20 tahun silam terpampang dengan jelas dihadapanku dan yang selama ini selalu menghantui tidur malamku. Malam-malam naas yang menghancurkanku.

Jangan Pergi Dariku

Seorang ibu menghalangi niat anaknya yang ingin mempolisikan anak seorang pengusaha yang tak lain temannya semasa SMA karena tlah menodai dirinya.
“urungkan niatmu itu, kita tidak akan pernah mendapatkan keadilan disana atau dimuka bumi ini. Justru sebaliknya, kamulah yang akan disalahkan. Hukum tidak pernah berpihak pada orang kecil seperti kita, ia dibuat hanya untuk mereka yang memiliki uang. Cukup bapakmu saja yang mereka ambil, jika kamu pun harus pergi, ibu tidak akan mampu lagi untuk hidup.” Ucap Ibunya dengan uraian airmata kepedihan. Ingatannya kembali melayang pada peristiwa setahun lalu saat pria kebanggaannya disel dengan tuduhan membunuh, hanya karena ia ikut menguburkan si korban. Suaminya meregang nyawa sesaat mendengar putusan hakim yang menjatuhkan vonis 17 tahun penjara.
“lalu bagaimana dengan nasibku Bu? Bagaimana jika aku hamil?,”
Sang Ibu terlihat menghembuskan nafas berat seakan diantara oksigen itu terdapat duri-duri tajam yang tak terlihat, “Seandainya itu terjadi, berarti kita harus mencari kehidupan ditempat lain.”
“Tapi Bu…..”
“Sudahlah nak, toh kehidupan kita disini pun tidak begitu baik.” Ucap Ibunya membesarkan hati Sumi, anaknya.
Namun percakapan itu sudah tujuh tahun berlalu, jabatan Manager disebuah perusahaan terkemuka, membuat kehidupan Sumi berubah. Sebuah rumah mewah pun tlah berhasil ia bangun.
Walaupun ia selalu terlihat bahagia dan bergelimpangan harta, hatinya selalu perih kesakitan saat matanya melihat sosok mungil yang mengubah hidupnya. Seorang bayi perempuan terlahir dari rahimnya dan membuatnya kehilangan sosok pria yang dicintainya.
Sumi benar-benar membenci anak itu dan tidak mengijinkannya memanggil ibu. Baginya anak itu hanyalah sampah yang dititipkan padanya.
“Kenapa kamu begitu membencinya nak? Atin itu anakmu sendiri, yang selama sembilan bulan berada ditubuhmu.” Setelah sekian lama diam, akhirnya bu Karti mengingatkan Sumi tentang keberadaan Atin.
“Apa ibu lupa, gara-gara siapa kita harus meninggalkan rumah? Dan gara-gara siapa mas Jono pergi ninggalin aku? Apakah semua itu masih kurang bagiku untuk membencinya?,” sahut Sumi dengan histeris.
“Astagfirullah, seburuk apapun peristiwa yang lalu, kamu gak berhak menghakimi Atin seperti itu. Atin tidak bersalah nak, bahkan Atin pun tidak pernah minta dilahirkan. Kamu dan Atin sama-sama menjadi korban.”
Sumi tidak mau mendengar kata-kata ibunya, baginya Atin tetaplah sampah. Kemarahannya seakan memuncak beberapa hari kemudian. Saat Atin tidak sengaja memecahkan piring.
“Kamu ini gimana sih? Kamu pikir nih piring punya moyangmu? Bisa kerja gak sih? Jangan-jangan besok semua barang dirumah ini kamu hancurin.”
Bu Karti yang mendengar ribut-ribut segera kedapur, “Ada apa sih, kok kamu teriak-teriak gitu?,” tanya bu Karti yang baru datang.
“Ibu tanya aja sama anak gembel ini,” sahut Sumi ketus dan berlalu dengan amarah didada.
“Atin, kenapa kak Sumi marah-marah sama kamu dan……lho tanganmu kok berdarah?,” tanya bu Karti tiba-tiba panic melihat darah ditangan Atin.
“Sekarang Atin duduk dulu ya, Ibu obati lukanya.” Dengan segera bu Karti membersihkan luka ditangan Atin yang terkena pecahan piring tadi.
“Biar Atin aja yang bersihin piringnya bu, inikan salahnya Atin,” kata Atin membuka suara saat melihat bu Karti bergegas membersihkan pecahan piring yang masih terlihat berantakan.
Bu Karti tersenyum dengan perasaan yang bergemuruh antara sedih dan kasihan, karena cucunya begitu disia-siakan Sumi, “ Ini bukan salah Atin tapi lain kali kalo lagi kerja harus hati-hati ya jangan melamun. Sekarang biar ibu aja yang bersihin piring-pirng ini, Atin istirahat aja dulu. “ Atin terdiam dan memperhatikan bu Karti yang selalu berbuat baik padanya.
Merasa diperhatikan seperti itu bu Karti menoleh, “ Tangan Atin sakit?,” tanya bu Karti dengan nada khawatir.
Atin hanya menggeleng namun matanya menyiratkan sebuah sesuatu yang sulit ditebak. “Terus Atin kenapa? Kok ngeliatin ibu seperti itu?,”
“Ibu selalu baik sama Atin, Atin sayang ibu,” bisiknya lirih hampir tak terdengar namun tak urung membuat bu Karti yang mendengar jadi tersenyum.
“Ibu juga sayaaaaaaaaaang banget sama Atin.” Kecupan dan pelukan hangat pun langsung menghujani Atin.
Sementara dipojokan sana, Sumi melihat adegan itu dengan amarah yang semakin menyala-nyala, “ Sialan tu anak, dia sudah mengambil ‘hidupku’ dan sekarang mau mengambil ibuku juga? Takkan kubiarkan, tunggu aja dan lihat apa yang bisa kuperbuat !!!,” ancam Sumi dalam hati dan tangannya terlihat semakin mengepal menunjukkan kemarahannya.
Hari mulai beranjak sore saat Sumi bersiap-siap untuk berbelanja, “ Mau kemana Sum?,” tanya ibunya yang sedang menonton.
“Mau belanja bu, ibu mau nitip?,” tanya Sumi dengan sopan.
“Bisa nitip beliin baju untuk Atin?,”
“Duh ibu, bisa gak sih Atin gak disebut dalam pembicaraan kita sekaliiiii aja? Capek Sumi ngedengernya, seakan-akan ibu lebih sayang sama dia ketimbang sama Sumi.”
“Sumi, kamu gak boleh ngomong gitu. Walau bagaimana pun Atin itu tetap anak kamu, darah dagingmu.” Bu Karti benar-benar gak habis pikir dengan tingkah Sumi, sebegitu bencinyakah ia pada anak yang pernah sekian lama berada ditubuhnya.
“Iya deh bu…..iya, Sumi minta maaf. Atin ikut saya aja, soalnya Sumi gak tau ukurannya.” Akhirnya Sumi pun mengalah dengan ibunya.
“Ibu gak jadi nitip, nanti biar ibu sendiri yang beli dipasar.”
“Jangan gitu dong bu, Sumi kan udah minta maaf. Sumi janji gak bakal marah-marahin Atin selama perjalanan. Ya anggap aja permintaan maaf Sumi atas peristiwa siang tadi.” Sumi memasang wajah bersalah dihadapan ibunya dan membuat ibunya menjadi luluh.
“Baiklah, tapi kamu harus pegang janjimu,” bu Karti pun mencari Atin dikamar dan kembali beberapa menit kemudian bersama dengan Atin disampingnya. “ Atin ikut kak Sumi beli baju ya, baju Atin kan udah mulai kekecilan,” Atin tampak takut-takut melihat kearah Sumi sebelum mengangguk.
Selama perjalanan, Sumi lebih memilih diam karena ia tlah berjanji tidak akan memarahi Atin selama perjalanan.
“Kak Sumi, maafin Atin ya kalo selama ini Atin suka nakal dan bikin kak Sumi marah.” Suara Atin yang bergetar terdengar memecah keheningan diantara mereka.
Namun Sumi tetap tak bergeming, pandangannya lurus kejalan, “Atin janji, Atin gak akan nakal dan gak bikin kak Sumi marah-marah lagi,” sambung Atin lagi dengan sesekali melirik kearah Sumi yang lebih memilih diam seakan tak mendengar apapun.
Suasana kembali hening, hingga beberapa saat kemudian sebuah mobil dari arah depan keluar jalur dan hampir menabrak mereka, membuat Sumi membanting setir kearah kiri untuk menghindarinya namun sebuah pohon menghentikan ‘pelarian’ Sumi.
Tiba-tiba semua menjadi gelap, ditengah kegelapan Sumi berusaha bangkit dan mencari cahaya. Sebuah tangan mungil menggenggamnya erat, menuntunnya ketitik cahaya tanpa sepatah kata pun.
Sumi melihat senyum Atin kala mereka keluar dari kegelapan. Senyum itu terlihat tulus dan manis membuat perasaan Sumi terasa nyaman. Atin melepaskan genggamannya dan berjalan menjauhi Sumi, “ Atin, kamu mau kemana? Ayo sini kita sama-sama pulang kerumah. Atin….. Atin…….” Teriakan Sumi tak digubris, Atin tetap berjalan meninggalkan Sumi dengan senyum yang masih menghiasi bibirnya.
“Atin….Atin…. “ teriak Sumi hingga ia terbangun dengan bu Karti yang terisak disisnya.
“Ibu kenapa nangis? Sumi ada dimana bu? Atin…Atin dimana bu?,” tanyanya kebingungan mendapatinya disebuah ruangan dengan dominasi aroma obat.
“Atin masih di ICU, kalian tidak sadarkan diri dari lima hari yang lalu,” sahut ibunya disela isak tangisnya.
Lambat laun ingatan Sumi tentang kecelakaan mulai kembali. “ Bagaimana keadaan Atin bu? Apakah ia terluka parah? Apakah ia juga sudah sadar?,” tanya Sumi dengan panik, membuat bu Karti sedikit heran dengan perubahannya.
“Atin masih koma dan belum sadarkan diri, luka yang dialaminya lebih parah.”
“Bu, tolong antarkan Sumi kesana, Sumi mau lihat keadaan Atin. Tolong bu,” pinta Sumi dengan deraian airmata. Karena keadaan Sumi mulai membaik maka bu Karti pun mengantarkan Sumi masih dengan keheranan.
Disana, Atin tergolek lemah dengan mata tertutup, dihiasi selang dihidung dan selang infus serta acecoris mengerikan lainnya yang menempel ditubuh mungilnya.
“Atin, kamu dengar ibu nak, ini ibu sayang. Maafkan ibu karena tlah menyia-nyiakanmu selama ini. Ibu janji gak akan marah-marah lagi dan akan menyayangimu. Tapi ibu mohon nak, kamu harus bisa bertahan, kamu harus kuat dan bangun. Ibu mohon, beri ibu kesempatan untuk menebus semua kesalahan ibu. Atin….. bangun nak, ini ibu sayang.” Bisik Sumi di telinga Atin. Bu Karti yang mendengar semua itu hanya bisa meneteskan air mata pilu.
“Ya Allah, berikanlah aku kesempatan kedua untuk menyayangi Atin, anakku, darah dagingku.” Ucap hati Sumi penuh harap.

Kamis, 22 April 2010

LUV U

“Ca kapan nih sang pangeran ngejemput lo?,” tanya sasi iseng saat mereka menunggu bis di halte.
“Gimana dia mau ngejemput klo ampe sekarang aja dia ga ngerti-ngerti ama sinyal yang gue kirim. Heran gue, jangan-jangan IQ tu cwok jongkok lagi!!!”, sahut Oca dengan BT
Sudah beberapa bulan ini Oca berusaha PDKT dengan awan, mulai dari mgejailin ampe muji-muji awan langsung didepan yang bersangkutan. Ntah kenapa Awan tidak pernah beraksi lebih dari tersenyum dan hal ini membuat Oca semakin gregetan.
“Mungkin usaha lo kurang keras kali!!”,
“Batu kalee keras. Gue usdah ngelakuin semua hal dan menurut gue itu udah sangat-sangat menjurus, bahkan gue pernah bilang kalo dia itu superhero yang selalu membanu gue saat susah.... eh bukannya ngerti, tu bocah malah senyum-senyum doang”, sewot Oca jengkel. Orang-orang sekitar mereka tersenyum-senyum meliat wajah Oca yang terlihat lucu dengan kejengkelannya.
“Ca, biasa aja dong ekspresinya. Lo ga nyadar apa, orang-orang ngeliatin lo?!”, kata sasi setengah berbisik.
Masih dengan ekspresi kesal, Oca melirik kesekitarnya, “Ga pernah ngeliat orang cantik BT ya mbak?!”, kata Oca saat menangkap basah wanita disebelahnya sedang ‘melotot’ padanya. Wanita tadi terkejut dan tersenyum kecut sebelum pergi meninggalkan Oca yang masih memandanginya.
“Sadis banget sih lo!!! Tapi walopun Awan Cuma senyum-senyum doang, lo tetep suka kan ama dia?”, goda sasi dengan menjawil dagu Oca.
“Ya gitu deh....kadang gue juga ga habis pikir, kenapa gue bisa suka ama mahluk seperti itu. Apa jangan-jangan gue dipelet lagi?”
Sasi menggeleng geleng heran dengan pemikiran temannya, “eh bu...lahir taon kapan? Masih percaya gituan, lagian apa yang mau dipelet dari lo? Lo itu kan ibarat timbunan lemak berjalan”, kata Sasi dengan pedes.
Oca seketika terdiam, “ Kok gue baru sadar ya?,” sahut Oca hampir tak terdengar.
“Maksud lo??!”
“Mungkin selama ini Awan bukan ga ngerti dengan semua sinyal tolol gue, tapi dia emang ga pernah punya rasa ama gue selain rasa pengen muntah!”, kata Oca dengan mata yang berkaca-kaca.
“Sedihnya ntar aja non, bisnya udah datang tuh. Buruan naik ntar ga dapet tempat duduk”, kata Sasi menarik tangan Oca.

*****

“Wan boleh pinjam laptop lo ga? Gue janji Cuma semalam doang. Gue udah nanya ke yang laen tapi mereka juga lagi pada make,” tanya Oca dengan penuh harap saat Awan masuk kelas.
“emang laptop lo kenapa?”,
“tau tuh laptop gue tiba-tiba ga bisa idup gitu!”
“Bener nih Cuma semalam?,” Oca mengangguk cepat, “tapi besok jangan lupa dibalikin ya, soalnya gue harus ngerjain laporan.” Dalam sekejab laptop Awan pun berpindah ke tangan Oca.
“thx ya Wan, gue janji besok udah dibalikin,” Awan hanya mengangguk dan berjalan keluar meninggalkan Oca.
“Laptop baru Ca? Bukannya laptop lo yang kemaren masih bagus? ,” tanya Sasi keheranan melihat laptop Oca yang berubah merk dan warna.
“Punyanya Awan,” jawab Oca singkat tanpa mengalihkan pandangan dari laprop awan.
“Apa?!? Punya Awan, emang punya lo rusak? Perasaan kemaren ga kenapa-napa kok,”
“emang laptop gue ga kenapa-napa, punya gue baek-baek aja kalo lo mau pake ambil aja tuh di tas,”
“trus kenapa lo pake punya Awan kalo punya lo sendiri ga rusak?!,”
“Sasi....lo itu berisik banget sih. Lo lupa, ini kan salah satu cara gue untuk PDKT ama doi,” Sasi hanya mengeleng melihat usaha Oca yang tak kenal lelah.
Tiba-tiba, “Sas...laptopnya kok gini?,” tanya Oca dengan panik. Sasi melihat apa yang terjadi dan berusaha untuk membantu, gambar dilayar laptop itu semakin lama semakin mengecil dan ...hilang sama sekali.
“Aduh Ca, gue ga ngerti yang beginian. Lo sih pake pinjem-pinjem segala, kalo orangnya minta ganti gimana?,”
“Bukannya ngebantuin, lo malah bikin gue makin panik.” Oca terlihat semakin kebingungan, tanpa pikir panjang ia segera menelpon seseorang.
“Halo...Wan ini gue Oca. Lo dimana?, gue kesana sekarang, lo jangan kemana-mana.”
“Ayo Sas, lo harus nemenin gue ke kantin,” tarik Oca cepat tanpa menjelaskan apapun pada Sasi.
“Kenapa Ca? Kok kayaknya penting banget,” tanya Awan saat saat bertemu Oca dan Sasi.
“Wan gue minta maaf ya, jujur gue ga ada niat untuk ngerusak laptop lo. Tadi gue Cuma ngetik doang, ga ngebuka yang laen-laen kok, Sasi saksinya, ya kan Si!?!,” Sasi hanya mengangguk ditodong seperti itu,
“trus gambar dilaptop lo semakin lama semakin kecil trus mati. Gue udah coba untuk hidupin tapi ga mau nyala. Maaf ya wan laptop lo jadi rusak gara-gara gue, tapi gue bersedia kok ngebayar biaya servicenya. Lo tinggal bilang aja ke gue,” cerocos Oca seperti petasan banting dengan raut wajah bersalah.
“udah selese ngomongnya?,”
Oca menatap Awan keheranan, “kok reaksinya gitu doang, masa sih ga marah?”
“tenang aja kalee Ca, tuh laptop kadang emang suka gitu, paling setengah jam udah normal lagi,” kata Awan menjelaskan dengan cueknya seakan tidak ada hal parah yang terjadi.
“Kenapa lo diem aja, tau gitu gue ga bakal panik kayak tadi. Untung gue ga kenapa-napa, nah kalo gue jantungan....lo mau tanggung jawab???,” sahut Oca dengan BT.
“wah, kumat nih si Oca....sewotnya!!!,” pikir Sasi yang sedari tadi hanya diam.
“Gimana gue mau ngomong, kalo dari tadi lo nyerocos mulu kaya petasan, ga pake titik koma gitu,” seru Awan dengan terkekeh.
“Gue ga jadi pinjem deh….. daripada gue panic trus jantungan.” Laptop Awan pun dikembalikan kepada siempunya.
“Kalo mo pake, bawa aja. ‘penyakitnya’ bentaran doang kok.”
“Ga ah, daripada ntar tambah rusak, gue lagi yang disalahin. Gue balikin aja deh, thanks ya... yuk Si,”Oca kembali menarik Sasi untuk segera menjauh.
“Ca, lo dari tadi narik-narik gue mulu deh. Emang gue binatang piaraan!!!,” protesnya kemudian.

*****

“Wan, gue denger tulisan lo ada yang dimuat dimajalah. Kapan nih acara traktirannya, ya minimal coklat 2 batang….. yang gede dong pastinya.” Sapa Oca saat bertemu Wawan.
“Siapa yang bilang?,”
“Ah… udah deh ga usah ngeles. Ya itung-itung lo amal ama kaum duafa kayak gue, ya ga?!,” lagi-lagi Awan hanya tersenyum dan berlalu pergi.
“Ye…tu anak diajakin ngomong, malah maen nyelonong boy aja,” sewot Oca yang ditinggal sendiri.
“Ca kekantin yuk, gue laper nih, bu Wina ga masuk kok.” Ajak Sasi dengan menarik tangan Oca yang terlihat bengong.
“Kenapa sih Ca?, gue lihat tadi lo bengong aja, kurang sajen lo semalam?,”kata Sasi saat menunggu pesanannya.
“Sajen, pala lo bau menyan. Tadi itu gue habis malak Awan, bukannya ngejawab ya atau ga, dianya malah maen pergi-pergi gitu aja.”
“Lagak lo tuh ya udah kayak preman aja. Emang lo minta apaan sih?,”
“Gue Cuma minta ditraktir doang kok atau kalo dia ga bisa, gue minta coklat 2 batang yang guede. Eh…dianya cuma senyam-senyum doang trus pergi. Gimana gue ga BT?!,”
“Eh…jaga tu muka. Kesel sih kesel tapi biasa aja dong mukanya.” Ucap Sasi mengingatkan kejadian dihalte beberapa waktu lalu.
“Bodo amat ah, pokoknya gue kesel!!!,”
“Lo tuh aneh, katanya lo BT tapi kok masih aja mau ngegebet dia?,”
“Gue juga ga tau. Kalo boleh jujur, dia itu bukan tipe gue banget. Tapi semakin gue piker, gue semakin kepincut ama dia,” Oca menghembuskan nafas dengan berat.
“Heran gue, apa sih yang gue suka dari dia?,” sambung Oca lagi.
“Itu sih namanya jatuh cinta. Cinta ga perlu alasan kuat saat ia mendatangi manusia.” Kata Sasi lagi sambil menyantap bakso pesanannya.
Belum lagi Oca sempat menimpali, seseorang dari belakang memanggilnya, “Ya ampun Ca, ternyata lo disini. Gue tuh nyariin lo dari tadi.”
Awan!!! “Ngapain lo nyari-nyari gue?,”
“Kan lo minta coklat, ya udah gue beliin, mumpung inget, eh begitu gue balik lo udah ga ada,”
“Bukannya lo yang maen pergi ninggalin gue, ya mana gue tau lo beli coklat. Lo sih maen pergi aja,” sungut Oca melampiaskan kekesalannya.
Awan cuma senyam-senyum aja sebelum mengatakan,” Jadi coklatnya mau ga?,”
“Ya mau lah, orang bego aja yang ga mau dikasih coklat.”
Sasi langsung melotot seraya berkata, “Maksud lo apa Ca?!,” Oca langsung menyadari kalo dia salah ngomong.
“Maksud gue, orang bego aja tuh yang ga mau ditraktir, ya kan Wan!,” jawab Oca dengan gugup dan lagi-lagi Awan cuma tersenyum melihat tingkah Oca yang gugup.
“Eh Wan, gue tuh nanya, jawab dong. Jangan senyum-senyum mulu, lo ga punya perbendaharaan kata-kata ya? Setiap ditanya senyum-senyum mulu. Heran gue,” semprot Oca kesal melihat Awan senyum mulu.
“Udah deh Ca, sensi amat sih dari tadi. Gue ngerti maksud lo, tapi awas kalo lo salah ngomong lagi. Btw, lo bawa apaan nih untuk gue, masa cuma Oca yang dibeliin coklat, gue ga?,”
“Emang lo mau coklat juga?,”
“Gue ga suka coklat. Ehm, gimana kalo lo ngebayarin makan gue aja. Kebetulan gue belum bayar nih,”
Awan mengangguk setuju, dan mengalihkan pandangannya pada Oca, “Lo mau makan juga Ca?,”
“Ga ah, gue masih kenyang, gue mo makan coklat aja. Btw, makasih ya coklatnya.”
“sama-sama,”


*****

Awan langsung memisahkan diri dari teman-temannya saat melihat Oca, “Ca, Sasi kemana? Kok beberapa hari ini ga keliatan?,”
“Napa? Lo kangen? Dia lagi sakit tuh. Gue sih rencananya ntar siang mau jenguk. Lo mau ikutan, itung-itung gue bisa hemat ongkos angkot kalo lo ikut.” Jawab Oca cuek sambil melirik Awan yang lagi-lagi tersenyum.
“Eh, gue butuh jawaban lo bukan senyuman lo!!!,” sewot Oca.
“kenapa sih Ca, klo sama gue lo sewot mulu, katanya gue superhero gue. Tapi kok lo marah-marah mulu ke gue?,”
Oca menghembuskan nafas berat, “Lo emang superhero gue, tapi kalo lo lagi ga ngeselin gue.”
“Kenapa sih Ca, lo sering banget kesel am ague?.”
“Karena lo ga pernah ngerti sinyal yang gue kirim ke lo.” Oca langsung terdiam tak percaya dia mengucapkannya.
Wajah Awan menunjukkan ketidakmengertian, “sinyal? Sinyal apa Ca?,”
“Lo dari tadi nanya mulu. Terakhir kalinya gue nanya, lo mau ikut ga kerumah Sasi?,”
“Iya..Iya gue ikut,” jawab Awan tak lupa dengan senyumnya, membuat Oca merasa bersalah dengan sikap kasarnya tadi.

*****

“Si, ada yang kangen sama lo tuh, selama lo ga masuk?!,” kata Oca saat tiba di rumah Sasi.
Sasi mengkerutkan keningnya, “Siapa Ca?,”
“Tuh si Mr Smile!,” tunjuk Oca pada Awan yang duduk didepan mereka. Sasi hanya menggeleng melihat Oca, “Oca.. Oca.. katanya demen, tapi kok bawaannya jutek mulu,” sementara yang diomongin lagi-lagi hanya tersenyum.
Mereka pun berbincang-bincang seputar masalah kampus, kurang lebih 2 jam kemudian Oca dan Awan pamitan.
“Wan, antar Oca sampe rumahnya ya, awas kalo lo nurunin dia ditengah jalan, sepi pula.” Kata Sasi bercanda.
“Sasi, apaan sih lo? Emangnya gue anak kecil.” Sahut Oca langsung meninju perut Sasi.
“Ya, gue ngerti kok.” Sahut Awan tak lupa senyumnya menyungging dibibir.
“Ca, mampir kewarung dulu ya, gue laper nih.” Kata Awan memecah keheningan diantara mereka diatas motor.
“bayar masing-masing atau lo yang traktir?,” Tanya Oca cepat.
“Gue traktirlah, kan gue yang ngajak.”
“OK, kalo ditraktir kenapa ga?!,” jawab Oca senang.
“Ca, lo kalo lagi ga jutek, manis juga ya!,” lirik Awan dari spion motornya.
Oca mendengus kesal namun hatinya terlonjak, “ Lo ngerayu gue?,” tanyanya dengan jutek.
“ng… ngga kok gue ga ngerayu, lo emang manis kalo ga jutek.”
“Bisa ga lo lebih perhatiin jalannya, karena gue ga mau kita makan dirumah sakit,”
“Sasi… lo harusnya ada disini dan ngedenger semuanya….. si IQ jongkok bilang kalo gue manis!!!!!.”
Tidak lama kemudian mereka tiba disebuah warung yang ga terlalu ramai, karena jam makan siang memang telah berakhir. Saat mereka menunggu, seorang pengamen belasan tahun mendatangi meja mereka. Awan yang menemukan sebuah ide membisiki pengamen kecil ini. Tiba-tiba meluncurlah lagu ‘menunggumu’ milik Ridho yang lagi ramai digandrungi.
Oca mendelik terkejut. “Stop… Stop…” pengamen tadi langsung berhenti ,” lo nge-request lagu ini? Maksud lo apa?,” kata Oca mulai sewot karena lagu yang dinyanyikan pengamen tadi.
“Aku… mau ngomong sesuatu ke kamu. Tapi….. aku ga tau gimana mulainya. Jadi….aku minta adik ini untuk dinyanyiin lagu itu untuk mewakili perasaanku.”
“Aku…Kamu?!,”
“Maksud lo???,”
Awan tidak langsung menjawab, ia memberi beberapa lembar uang ribuan pada pengamen tadi, setelah mengucapkan terima kasih, pengamen itu beranjak pergi. “Oca… aku ga tau harus mulai darimana? Aku…aku…a…ku…suka sama kamu,” akhirnya Awan dapat menyelesaikan kalimatnya. Sebuah kalimat ‘ajaib’ yang ditunggu Oca selama ini.
“Jujur….. aku tau yang kamu maksudkan dengan ‘sinyal’ dan aku ngerti semua artinya, tapi…aku terlalu takut untuk mengungkapkannya. Ntah kenapa?,” Oca hanya terdiam tak percaya ‘kedoknya’ terbongkar.
“Aku cuma ingin adik tadi membantuku menyatakan perasaanku, namun ternyata aku salah memilih lagu. Maaf ya,” Awan menunjukkan wajah bersalahnya bagaikan mengakui kejahatannya mencuri ayam tetangga, sementara Oca masih terdiam.
“Pertama kali kamu bilang kalo aku superhero mu, aku benar-benar bahagia. Namun lagi-lagi, aku tidak bisa menunjukkannya padamu dan setiap kali kamu memerlukan bantuanku, aku merasa sangat senang…..”
Oca tiba-tiba memotong pembicaraan Awan dengan jutek, “Intinya lo mau ngomong apaan? Dari tari ngomong ngalor-ngidul ga jelas ujungnya.”
Awan terlihat semakin gugup,” Aku…aku…”
“Ngomong yang jelas dong, dari tadi aku…aku…”
Bukannya meneruskan omongannya, Awan justru memanggil adik pengamen tadi yang sedang berjalan keluar warung dan kembali membisikinya, “Yakin ka? Ntar dimarahin lagi lho!!! ,” Awan hanya mengangguk menyakinkan pengamen tadi.

Pilihlah aku jadi pacarmu, yang pasti setia menemanimu, jangan kau salah pilih yang lain, yang lain belum tentu setia, jadi pilihlah aku

Oca hanya tersipu mendengar lagu tadi, sementara Awan kembali memberikan upah pada adik tadi, usai mengucap terima kasih anak itu pun pergi berlalu.
“Jadi gimana Ca?,” Tanya Awan penuh harap. Seseorang membawakan pesanan mereka sebelum Oca sempat menjawab.
“Lo kan laper. Kalo gitu kita makan dulu aja,” jawab Oca berusaha acuh.
“Sasi….. kenapa lo harus sakit disaat yang salah,” teriak hati Oca girang.
Mereka pun makan dalam diam dan sesudahnya mereka langsung beranjak pergi.” Ca, gimana? Kan kita udah selese makan!,” Tanya Awan dengan lugunya
“Udah, jalan aja dulu,” jawab Oca singkat.
“Sasiiii…… lo harus dengerin gue. Gue ditembak Si….” Teriak hati Oca.
Dalam perjalanan, Oca tiba-tiba melingkarkan lengannya pada pinggang Awan. Awan terkejut dan reflek menoleh. “Ga usah toleh-toleh, perhatiin aja jalannya jangan sampai kita tiba dijalan TPU gang kubur,” sahut Oca dengan tersenyum dan menjatuhkan kepalanya pada punggung Awan. Awan kembali memperlihatkan senyumnya hanya kali ini terlihat lebih bahagia.
“Tuhan, terima kasih Kau tlah membuka hati orang ini.” Bisik hati Oca.