ulie said

TiDak AdA mAnuSiA YanG Bod0H
yAnG aDa HanYa MaNusIa yANg MalAS

Senin, 26 April 2010

Kegetiran Masa Lalu

Hari yang ‘indah’. Pagi, diomel-omelin bos karena salah menyambungkan telp ke supplier. Siangnya, teman salah beliin makan, mintanya telor dikasih ayam (padahal akukan alergi banget dengan unggas yang satu itu). Sorenya pas mau pulang ternyata angkot-angkot pada mogok dan akhirnya aku terpaksa harus ngeluarin duit lebih untuk naik ojek. Saat itu kupikir ‘keindahan’ hari ini akan berakhir, namun aku salah. Saat makan malam aku kembali menikmati ‘keindahan’ karena pertanyaan orang tuaku.
“Kapan nih calon kamu diajak kerumah? Mamak kan juga mau mengenal calon menantu.” Kata mamak tanpa basa basi.
Aku langsung tersedak makanan yang ku kunyah. hu…..pertanyaan ini adalah pertanyaan yang paling kubenci dan untuk kesekian kalinya kembali di bahas, di meja makan pula.
“iya, Bagus dan Bagas saja sudah pernah membawa pacarnya kerumah, masa kamu belum pernah sama sekali,” timpal bapak dan membuatku semakin kesulitan bernafas. Sementara dua adik kembarku, Bagus dan Bagas menampakkan senyum kemenangan diwajah mereka.
“Belum ada. belum mikir yang gituan,” sahutku singkat.
“kalo kamu ga mikir dari sekarang, kapan lagi kamu akan mikirnya? Ingat, umur kamu itu terus bertambah. Jangan sampai adik-adikmu mendahului mu,” sambung ibu lagi.
Seandainya terjadi longsor tiba-tiba didalam rumahku, aku berharap aku bisa ikut longsor itu masuk ke dalam bumi saat ini juga agar bisa menghilang dari tatapan mereka semua.
“Win kamu denger gak kata-kata mamak?,”
“Iya mak, Win dengar. Tapi untuk saat ini Win ga mau mikir hal itu. Masih banyak hal yang lebih penting daripada mencari pasangan hidup,”
“Kapan kamu akan memikirkannya? Ingat umurmu bukan lagi anak remaja,” kata-kata Mamak tadi terasa sangat menohok.
“Mamak bosan mendengar omongan orang-orang yang mengatakan kau perawan tua yang tak laku-laku. Jadi Mak harap kau bisa memikirkannya dari sekarang,” sambung Mamak kemudian.
Aku berusaha untuk memaklumi perasaan wanita dihadapanku ini, “Ya Mak, saya ngerti!,”
Kami pun kembali hening dan menyantap makanan dengan tenang, namun pikiranku tidak bisa setenang itu.

*****

“Win, dari mas Irwan!,” kata Yana dengan menyerahkan gagang telpon saat aku sedang bersiap-siap pergi makan siang.
“Bilang aja aku ga ada,” bisikku
“Aku udah terlanjur bilang kamunya ada, nih!!!,”
Dengan malas, aku pun menjawab telpon itu, “Halo, ya mas ada apa? Maaf mas saya gak bisa. Saya lagi nunggu customer, bentar lagi datang. Maaf ya mas.” Segera ku letakkan gagang telpon itu dan menghela nafas berat.
“Kenapa sih Win, kamu selalu saja menolak ajakan mas Irwan? Apa kamu gak tau kalo mas Irwan suka sama kamu?,” Tanya Yana yang memperhatikanku sedari tadi.
“Justru hal itu yang tidak kuinginkan.” Gumamku pelan
“Maksudnya??!,” Tanya Yana terheran-heran.
“Sudahlah, gak usah dibahas lagi!,”jawabku dengan berlalu meninggalkannya yang masih kebingungan.
Baru aja kaki akan melewati pintu, tiba-tiba terdengar suara menegur, “Win, mau makan ya? Bareng yuk, aku yang traktir,” ajak Dedi dengan riang.
“Maaf Ded, aku gak bisa. Aku udah janji ama Yana mau nemenin dia cari kado siang ini,”
“O gitu ya,” keriangannya tiba-tiba menguap berganti dengan kecewa.
“Sorry ya Ded, gimana kalo lain kali?,” usulku kemudian, dengan serta merta wajahnya kembali riang.
“OK deh, aku tunggu lho waktunya,” ucapnya dan berlalu pergi.

“Emang aku mau nyari kado untuk siapa?,” Tanya Yana yang ternyata sudah ada dibelakangku.
“Mau makan gratis ga?,” todongku cepat.
“Mau…mau…berangkat sekarang yuk,” ajak Yana dengan semangat.
“ye… giliran makan aja cepat banget jawabnya,” pikirku
“Win, kenapa sih kamu selalu aja menolak cowok-cowok itu? Sebenarnya ada apa?,” Tanya Yana saat kami lagi nunggu pesanan disebuah rumah makan yang agak jauh dari kantor.
“Ga ada apa-apa, Cuma males aja!,”
“Tapi Win….”
“Udah deh, gak usah ngomongin itu, kita makan aja. OK,” kataku cepat.
Sesaat kemudian suara yang sangat familiar terdengar, “Hai Win, Yan,” sapa mas Irwan mengejutkanku dan Yana.
“Hai mas, mau kemana? Kok bisa nyasar sampe sini?,” Yana berusaha ‘melindungi’ keterkejutanku.
“Rencananya sih mau ngajak kalian makan, karena tadi Wiwin bilang customernya udah mau datang, jadi kupikir kenapa gak nunggu disini aja? Eh, ternyata kalian udah ada disini.” Jelas Irwan dengan sumringah.
Wajahku sejenak merah padam karena malu, untung saja mas Irwan tak memperhatikannya karena Yana mengajaknya ngobrol, thanks Yana.
“Kalian atau kalian??!,” goda Yana membuat Irwan salting sejenak.
“Aku duduk bareng disini ya,” Tanyanya meminta ijinku yang sejak tadi terdiam.
Dengan tergagap aku pun menjawab,” Oh…eh, duduk aja gak papa kok,” dan hingga akhir, aku lebih banyak diam dan larut dengan pikiranku sendiri. Aku merasa beruntung dengan keberadaan Yana yang mampu menghilangkan ‘kebekuan’ yang ada.
“Kok kamu tadi banyak diam, padahalkan mas Irwan datang untuk kamu,” Tanya Yana saat kami berjalan kekantor.
“gak usah dibahas ya, kepala ku rada pusing nie,” jawabku malas, Yana hanya bisa terdiam dengan berbagai pemikiran diotaknya.

*****

Suara ketukan dipintu membuatku mengalihkan mata dari buku yang kupegang, “ Gak dikunci!!!,”
Beberapa saat kemudian bapak masuk kekamarku, “Lagi ngapain Win?,”
“Lagi baca buku aja, ada apa pak?,’ seingatku semenjak kami pindah kerumah ini 10 tahun yang lalu, bapak jarang kekamarku hanya untuk pertanyaan basa-basi seperti itu.
Sejenak beliau tampak menarik nafas panjang,”Win, kalo boleh bapak tau, hal apa yang membuatmu belum juga memikirkan masalah jodoh? Padahal kata Yana, dikantor banyak pria yang mendekatimu. Apakah ada salah satu dari mereka yang kamu sukai?”
Hu…lagi-lagi masalah ini.apa aja sih yang udah Yana omongin sore tadi ?, “Ga ada apa-apa sih pak, Win cuma belum mau mikirin masalah ini.’
“Tapi nak, tahun ini kamu akan berumur 28 tahun. Kapan lagi kamu mau memikirkannya?,”
“Pak, tolong…..tolong jangan paksa saya!,”
“Win, bukannya bapak memaksa kamu, tapi kami sebagai orang tua ingin sekali melihat kamu menikah sebelum adik-adikmu,”
Ya Allah…apa yang harus aku lakukan? Haruskah aku…
“Kemarin Bagus meminta bapak untuk melamar Nita,” sambung bapak lagi.
“Ya udah pak, lamar aja Nita dan nikahkan mereka. Win gak masalah,” sahutku dengan cepat.
“Tapi bapak tidak mau melihat kamu didului oleh adikmu,”
“Pak, tidak ada hadist atau ayat dari Al-qur’an yang memandang dosa jika adik mendahului kakaknya. Bahkan justru menghalangi anak untuk menikah adalah dosa,”
Tiba-tiba Bagus ikut masuk kekamarku, “Kak, tolong ikuti saja keinginan bapak dan mamak. Tolong suruh pacar kakak melamar kakak segera, karena bapak dan mamak tidak mau melamar Nita kalo kakak belum dilamar lebih dulu,” pinta Bagus dengan memohon.
Ya Allah, serumit inikah masalah jodoh dikeluargaku?
“Orangtuanya akan menikahkan Nita dengan orang lain jika saya tidak segera melamarnya,” jelas Bagus lagi.
“Bagaimana kakak mau menyuruh pacar kakak untuk melamar, kalo pacar saja kakak memang tidak punya.” Kataku memberi pengertian pada adikku yang satu ini agar tidak mendesakku sedemikian rupa.
“Gus, kakak ikhlas kamu menikah lebih dulu, kakak rela,”sambungku lagi.
“Mamak tidak setuju Bagus mendahuluimu,” sahut mamak dengan tegas didepan kamarku.
“Mak, tolong ngertiin saya kali ini. Saya benar-benar belum bisa dan belum siap untuk memikirkan hal semacam itu,”
“Mamak tidak mau tau. Kalo kamu mau melihat Bagus menikah, kamu harus menikah lebih dulu, titik.”
Tanpa aku sadari, air mata mulai berjatuhan dipipiku. Sedari tadi aku berusaha untuk bersabar namun sepertinya aku memang harus berterus terang, “Kenapa ga satupun orang dirumah ini yang bisa ngerti apa keinginan saya. Kalian semua harus selalu saya ikuti tanpa bisa saya bantah sedikitpun. Kalian mau tau kenapa saya ga pernah pacaran sampai detik ini?,” sejenak aku memandang kearah mereka semua dengan mata yang memerah menahan amarah.
“Karena saya benci laki-laki. Saya memutuskan untuk tidak menikah sampai kapan pun saat menyadari hidup saya sudah hancur. ‘Harta’ yang saya banggakan sebagai wanita sudah hilang sejak saya SD,” mamak yang telah duduk disebelahku tampak terkejut mendengar pengakuanku.
“Dan kalian terus saja menyuruh saya mencari pendamping. Untuk apa? Untuk dicaci maki? Untuk dilecehkan?. Cukup… kehilangan ‘harta’ sudah membuat saya sakit bertahun-tahun dan saya tidak mau kembali disakiti dengan hal-hal seperti dicaci serta dilecehkan untuk sebuah kesalahan yang tidak saya perbuat,” airmataku mengalir semakin deras dan deras hingga pandanganku mengabur.
Mamak yang menagis sedari awal mendengar penuturanku langsung memelukku, “Katakan nak, siapa yang tega melakukan hal itu padamu? Mengapa kamu menyimpan kepedihan ini sendiri selama bertahun-tahun, apa kamu tidak percaya pada kami keluargamu?,” isak mamak
“maafkan mamak nak, karena selama ini mamak selalu menuntutmu. Maafkan mamak juga karena ternyata mamak sudah lengah tidak memperhatikan dirimu,”sambung mamak dengan perasaan menyesal. Ia benar-benar tak menyangka, aku sanggup memendam ‘luka’ sedalam itu sendirian sekian lama.
Bagus pun tampak terkejut dengan pengakuanku, wajahnya menyiratkan penyesalan karena telah mendesakku hingga akhirnya aku harus mengoyak luka lama yang belum sembuh, bahkan mungkin tidak akan pernah sembuh. Sementara bapak terlihat menunduk dalam-dalam dan menangis tanpa ada yang melihat airmata penyesalannya. Namun, sebanyak apapun airmata penyesalan itu ditumpahkan tetap tidak akan mengembalikan hidupku yang terkoyak dan hancur karena perbuatannya dulu.
Sedangkan aku hanya terdiam dengan airmata terus mengurai, pemandangan 20 tahun silam terpampang dengan jelas dihadapanku dan yang selama ini selalu menghantui tidur malamku. Malam-malam naas yang menghancurkanku.

Tidak ada komentar: