ulie said

TiDak AdA mAnuSiA YanG Bod0H
yAnG aDa HanYa MaNusIa yANg MalAS

Senin, 26 April 2010

Jangan Pergi Dariku

Seorang ibu menghalangi niat anaknya yang ingin mempolisikan anak seorang pengusaha yang tak lain temannya semasa SMA karena tlah menodai dirinya.
“urungkan niatmu itu, kita tidak akan pernah mendapatkan keadilan disana atau dimuka bumi ini. Justru sebaliknya, kamulah yang akan disalahkan. Hukum tidak pernah berpihak pada orang kecil seperti kita, ia dibuat hanya untuk mereka yang memiliki uang. Cukup bapakmu saja yang mereka ambil, jika kamu pun harus pergi, ibu tidak akan mampu lagi untuk hidup.” Ucap Ibunya dengan uraian airmata kepedihan. Ingatannya kembali melayang pada peristiwa setahun lalu saat pria kebanggaannya disel dengan tuduhan membunuh, hanya karena ia ikut menguburkan si korban. Suaminya meregang nyawa sesaat mendengar putusan hakim yang menjatuhkan vonis 17 tahun penjara.
“lalu bagaimana dengan nasibku Bu? Bagaimana jika aku hamil?,”
Sang Ibu terlihat menghembuskan nafas berat seakan diantara oksigen itu terdapat duri-duri tajam yang tak terlihat, “Seandainya itu terjadi, berarti kita harus mencari kehidupan ditempat lain.”
“Tapi Bu…..”
“Sudahlah nak, toh kehidupan kita disini pun tidak begitu baik.” Ucap Ibunya membesarkan hati Sumi, anaknya.
Namun percakapan itu sudah tujuh tahun berlalu, jabatan Manager disebuah perusahaan terkemuka, membuat kehidupan Sumi berubah. Sebuah rumah mewah pun tlah berhasil ia bangun.
Walaupun ia selalu terlihat bahagia dan bergelimpangan harta, hatinya selalu perih kesakitan saat matanya melihat sosok mungil yang mengubah hidupnya. Seorang bayi perempuan terlahir dari rahimnya dan membuatnya kehilangan sosok pria yang dicintainya.
Sumi benar-benar membenci anak itu dan tidak mengijinkannya memanggil ibu. Baginya anak itu hanyalah sampah yang dititipkan padanya.
“Kenapa kamu begitu membencinya nak? Atin itu anakmu sendiri, yang selama sembilan bulan berada ditubuhmu.” Setelah sekian lama diam, akhirnya bu Karti mengingatkan Sumi tentang keberadaan Atin.
“Apa ibu lupa, gara-gara siapa kita harus meninggalkan rumah? Dan gara-gara siapa mas Jono pergi ninggalin aku? Apakah semua itu masih kurang bagiku untuk membencinya?,” sahut Sumi dengan histeris.
“Astagfirullah, seburuk apapun peristiwa yang lalu, kamu gak berhak menghakimi Atin seperti itu. Atin tidak bersalah nak, bahkan Atin pun tidak pernah minta dilahirkan. Kamu dan Atin sama-sama menjadi korban.”
Sumi tidak mau mendengar kata-kata ibunya, baginya Atin tetaplah sampah. Kemarahannya seakan memuncak beberapa hari kemudian. Saat Atin tidak sengaja memecahkan piring.
“Kamu ini gimana sih? Kamu pikir nih piring punya moyangmu? Bisa kerja gak sih? Jangan-jangan besok semua barang dirumah ini kamu hancurin.”
Bu Karti yang mendengar ribut-ribut segera kedapur, “Ada apa sih, kok kamu teriak-teriak gitu?,” tanya bu Karti yang baru datang.
“Ibu tanya aja sama anak gembel ini,” sahut Sumi ketus dan berlalu dengan amarah didada.
“Atin, kenapa kak Sumi marah-marah sama kamu dan……lho tanganmu kok berdarah?,” tanya bu Karti tiba-tiba panic melihat darah ditangan Atin.
“Sekarang Atin duduk dulu ya, Ibu obati lukanya.” Dengan segera bu Karti membersihkan luka ditangan Atin yang terkena pecahan piring tadi.
“Biar Atin aja yang bersihin piringnya bu, inikan salahnya Atin,” kata Atin membuka suara saat melihat bu Karti bergegas membersihkan pecahan piring yang masih terlihat berantakan.
Bu Karti tersenyum dengan perasaan yang bergemuruh antara sedih dan kasihan, karena cucunya begitu disia-siakan Sumi, “ Ini bukan salah Atin tapi lain kali kalo lagi kerja harus hati-hati ya jangan melamun. Sekarang biar ibu aja yang bersihin piring-pirng ini, Atin istirahat aja dulu. “ Atin terdiam dan memperhatikan bu Karti yang selalu berbuat baik padanya.
Merasa diperhatikan seperti itu bu Karti menoleh, “ Tangan Atin sakit?,” tanya bu Karti dengan nada khawatir.
Atin hanya menggeleng namun matanya menyiratkan sebuah sesuatu yang sulit ditebak. “Terus Atin kenapa? Kok ngeliatin ibu seperti itu?,”
“Ibu selalu baik sama Atin, Atin sayang ibu,” bisiknya lirih hampir tak terdengar namun tak urung membuat bu Karti yang mendengar jadi tersenyum.
“Ibu juga sayaaaaaaaaaang banget sama Atin.” Kecupan dan pelukan hangat pun langsung menghujani Atin.
Sementara dipojokan sana, Sumi melihat adegan itu dengan amarah yang semakin menyala-nyala, “ Sialan tu anak, dia sudah mengambil ‘hidupku’ dan sekarang mau mengambil ibuku juga? Takkan kubiarkan, tunggu aja dan lihat apa yang bisa kuperbuat !!!,” ancam Sumi dalam hati dan tangannya terlihat semakin mengepal menunjukkan kemarahannya.
Hari mulai beranjak sore saat Sumi bersiap-siap untuk berbelanja, “ Mau kemana Sum?,” tanya ibunya yang sedang menonton.
“Mau belanja bu, ibu mau nitip?,” tanya Sumi dengan sopan.
“Bisa nitip beliin baju untuk Atin?,”
“Duh ibu, bisa gak sih Atin gak disebut dalam pembicaraan kita sekaliiiii aja? Capek Sumi ngedengernya, seakan-akan ibu lebih sayang sama dia ketimbang sama Sumi.”
“Sumi, kamu gak boleh ngomong gitu. Walau bagaimana pun Atin itu tetap anak kamu, darah dagingmu.” Bu Karti benar-benar gak habis pikir dengan tingkah Sumi, sebegitu bencinyakah ia pada anak yang pernah sekian lama berada ditubuhnya.
“Iya deh bu…..iya, Sumi minta maaf. Atin ikut saya aja, soalnya Sumi gak tau ukurannya.” Akhirnya Sumi pun mengalah dengan ibunya.
“Ibu gak jadi nitip, nanti biar ibu sendiri yang beli dipasar.”
“Jangan gitu dong bu, Sumi kan udah minta maaf. Sumi janji gak bakal marah-marahin Atin selama perjalanan. Ya anggap aja permintaan maaf Sumi atas peristiwa siang tadi.” Sumi memasang wajah bersalah dihadapan ibunya dan membuat ibunya menjadi luluh.
“Baiklah, tapi kamu harus pegang janjimu,” bu Karti pun mencari Atin dikamar dan kembali beberapa menit kemudian bersama dengan Atin disampingnya. “ Atin ikut kak Sumi beli baju ya, baju Atin kan udah mulai kekecilan,” Atin tampak takut-takut melihat kearah Sumi sebelum mengangguk.
Selama perjalanan, Sumi lebih memilih diam karena ia tlah berjanji tidak akan memarahi Atin selama perjalanan.
“Kak Sumi, maafin Atin ya kalo selama ini Atin suka nakal dan bikin kak Sumi marah.” Suara Atin yang bergetar terdengar memecah keheningan diantara mereka.
Namun Sumi tetap tak bergeming, pandangannya lurus kejalan, “Atin janji, Atin gak akan nakal dan gak bikin kak Sumi marah-marah lagi,” sambung Atin lagi dengan sesekali melirik kearah Sumi yang lebih memilih diam seakan tak mendengar apapun.
Suasana kembali hening, hingga beberapa saat kemudian sebuah mobil dari arah depan keluar jalur dan hampir menabrak mereka, membuat Sumi membanting setir kearah kiri untuk menghindarinya namun sebuah pohon menghentikan ‘pelarian’ Sumi.
Tiba-tiba semua menjadi gelap, ditengah kegelapan Sumi berusaha bangkit dan mencari cahaya. Sebuah tangan mungil menggenggamnya erat, menuntunnya ketitik cahaya tanpa sepatah kata pun.
Sumi melihat senyum Atin kala mereka keluar dari kegelapan. Senyum itu terlihat tulus dan manis membuat perasaan Sumi terasa nyaman. Atin melepaskan genggamannya dan berjalan menjauhi Sumi, “ Atin, kamu mau kemana? Ayo sini kita sama-sama pulang kerumah. Atin….. Atin…….” Teriakan Sumi tak digubris, Atin tetap berjalan meninggalkan Sumi dengan senyum yang masih menghiasi bibirnya.
“Atin….Atin…. “ teriak Sumi hingga ia terbangun dengan bu Karti yang terisak disisnya.
“Ibu kenapa nangis? Sumi ada dimana bu? Atin…Atin dimana bu?,” tanyanya kebingungan mendapatinya disebuah ruangan dengan dominasi aroma obat.
“Atin masih di ICU, kalian tidak sadarkan diri dari lima hari yang lalu,” sahut ibunya disela isak tangisnya.
Lambat laun ingatan Sumi tentang kecelakaan mulai kembali. “ Bagaimana keadaan Atin bu? Apakah ia terluka parah? Apakah ia juga sudah sadar?,” tanya Sumi dengan panik, membuat bu Karti sedikit heran dengan perubahannya.
“Atin masih koma dan belum sadarkan diri, luka yang dialaminya lebih parah.”
“Bu, tolong antarkan Sumi kesana, Sumi mau lihat keadaan Atin. Tolong bu,” pinta Sumi dengan deraian airmata. Karena keadaan Sumi mulai membaik maka bu Karti pun mengantarkan Sumi masih dengan keheranan.
Disana, Atin tergolek lemah dengan mata tertutup, dihiasi selang dihidung dan selang infus serta acecoris mengerikan lainnya yang menempel ditubuh mungilnya.
“Atin, kamu dengar ibu nak, ini ibu sayang. Maafkan ibu karena tlah menyia-nyiakanmu selama ini. Ibu janji gak akan marah-marah lagi dan akan menyayangimu. Tapi ibu mohon nak, kamu harus bisa bertahan, kamu harus kuat dan bangun. Ibu mohon, beri ibu kesempatan untuk menebus semua kesalahan ibu. Atin….. bangun nak, ini ibu sayang.” Bisik Sumi di telinga Atin. Bu Karti yang mendengar semua itu hanya bisa meneteskan air mata pilu.
“Ya Allah, berikanlah aku kesempatan kedua untuk menyayangi Atin, anakku, darah dagingku.” Ucap hati Sumi penuh harap.

Tidak ada komentar: